Di hari liburku ini, Duri beserta Ayah mengajakku berkebun. Aku heran sekali dengan silsilah keluargaku. Sebenarnya, Ayahku itu kerjaannya apa coba? Kenapa kami bisa punya lahan perkebunan pribadi?
Ah sudahlah. Mau ratusan kali bertanya pun, Ayah tak akan memberikanku jawaban yang memuaskan.
"Nah, (Nama)! Pakai topii inii, biar kulit kamu enggak terbakar sinar mataharii." Duri memakaikan sebuah topi jerami tepat di pucuk kepalaku. Duri amat sangat bersemangat saat aku mengiyakan ajakannya untuk membantunya di ladang kebun.
"Kita mau nanam apaa, Kak Duri?" Aku bertanya sambil memakai sarung tangan yang telah disediakan Duri.
Duri sendiri sudah siap dan rapi dengan atribut-atribut perlengkapan miliknya. Ayah— aku tidak tahu Ayah pergi kemana. Yah, palingan mancing.
"Hemmm... Apa yaa?" Duri memikirkan pertanyaanku baik-baik. Pupil hijau zamrudnya itu memandangi wajahku lekat-lekat dengan senyuman sumringah. Kalau melihat Duri tersenyum, entah kenapa aku juga jadi ikutan tersenyum.
"Enggak usah nanam dulu deh. Kak Duri enggak mau (Nama) kotor-kotoran kena lumpurr." Duri meregangkan kedua pipiku, seakan menguleni adonan tepungnya.
Aku meringis sakit. Duri memang selalu suka cubit-cubit pipi. Padahal pipi Duri sendiri lebih kenyal daripada milikku.
"Huunggg.. terus kita mawu ngapwain?" Aku memegang kedua pergelangan tangannya Duri yang mencubitku geram.
"Ayyo kita panen! Kebetulan sekali, sudah memasuki musim panen." Duri melepaskan cubitannya, tapi kemudian memerangkapku dalam pelukannya. Indera penciumanku jadi dipenuhi oleh bau khasnya Duri, bau minyak telon dan bau matahari.
Aku sudah sebesar ini padahal, tapi anehnya aku tetap diperlakukan seperti balita yang baru mengerti caranya berjalan.
Tapi ya gapapa, aku suka.
—
Aku meletakkan keranjang yang penuh berisikan tomat-tomat segar berwarna merah menyala. Perkebunannya Duri ini tidak main-main. Seluruh hasil panennya berkualitas tinggi dan layak untuk diperjualbelikan. Pantas saja Duri ini lumayan berduit.
"Kakk Durii, bagian tomatnya sudahh (Nama) petik!" Aku berteriak, menyeka keringatku dengan lengan bajuku.
Duri juga membawa keranjang yang serupa, tapi berisikan wortel yang berukuran cukup besar daripada yang biasanya diperjualbelikan di pasaran.
"Wahh! Bang Gempa pasti seneng nih! Ambil secukupnya buat dibawa pulang, (Nama). Sisanya biar kita jual, deh." Duri memberikanku beberapa tas-tas kecil yang berfungsi untuk membawa hasil panen kami pulang.
Aku mengangguk dan mulai memilah hasil panen yang kurasa paling berkualitas tinggi. Aku cukup menikmati prosesi berkebun ini. Ada perasaan puas yang meliputi saat aku mendapatkan hasil panen yang berkualitas.
Aku berjongkok pada tepi parit, yang kebetulan terdapat keranjang berisikan hasil-hasil panen yang lain. Ketika aku hendak menggapainya, pemandangan mematikan membuatku takut setengah mati.
"AAAAAAAAAKHHHH!!! KAKK DURIII!!" Aku berlari meninggalkan kantongan kecil yang diberi tadi dan menghampiri Duri. Aku bahkan melompat pada Duri sangking takutnya.
Duri yang tiba-tiba didatangi olehku memiringkan kepalanya, Duri sigap menangkapku yang melompat ke arahnya dengan raut muka keheranan.
"Kenapa? Kenapaa, (Nama)?"
Aku mengalungkan lenganku pada lehernya. Aku enggan menyentuh tanah. Aku meringkuk ketakutan sambil menunjuk-nunjuk area parit tempatku meletakkan hasil panen yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakakku Kembar Tujuh! | BoBoiBoy Ft. Readers
Fiksi PenggemarBook ini menceritakan tentang kisah fiksi jikalau seandainya "Readers" menjadi bagian dari keluarga Amato sebagai anak bungsu. Buat kalian yang keluarganya beroken hom dan ingin menghalu rasanya punya keluarga yang harmonis, kalian bisa baca book in...