Prolog

1.5K 146 28
                                    

Terlalu banyak jarak di antara mereka.

Itu adalah alasan yang menguatkan hati Ni Lara untuk berhadapan dengan suaminya malam ini. Suasana di antara mereka seperti biasanya, terasa jauh dan asing—meski mereka berdua menyadari keberadaan satu sama lain di dalam ruangan itu.

Ni Lara menatapnya nelangsa dengan penuh rasa yang menyesakkan, pedih dan menyakitkan sekaligus menjadi satu.

Di hadapannya, pria yang sudah dua tahun ini menjadi suaminya bergeming tanpa terlihat mencoba memulai obrolan atau apa pun itu untuk menghangatkan suasana di antara mereka. Sikapnya lebih menunjukkan bahwa ini adalah keterasingan yang begitu kental di antara mereka.

"Aku ingin cerai, Mas."

Keinginan Ni Lara akhirnya berkumandang sampai dengan cepat di indera pendengaran mereka, tetapi pria itu tampak bergeming.

Mengapa? Bukankah permintaan itu sudah sangat jelas?

Mengapa suaminya masih tampak tidak akan memberikan reaksi? Apakah begitu tidak pedulinya ia pada rumah tangga ini?

Meski begitu, Ni Lara sendiri masih diliputi kebingungan. Haruskah dia mengatakannya sekali lagi? Tidak. Dengan nihilnya reaksi sang suami akan permintaannya barusan telah menunjukkan betapa tidak pedulinya pria itu terhadap hubungan mereka. Namun, anehnya, kemudian Ni Lara dapat menangkap sorot kekecewaan dan kebingungan yang bercampur menjadi satu di mata suaminya saat pandangan mereka bertemu.

Itu semakin membuatnya bingung. Bukankah seharusnya permintaannya ini membuat pria itu lega karena akhirnya bisa melepasnya?

"Bisa diulang, Ni?" tanyanya. Seperti biasa, suara pria itu memberikan kesan dingin, tetapi tetap terdengar lembut tanpa memberikan intimidasi yang berarti.

Kendati begitu, di tempatnya, Ni Lara tetap menelan salivanya dengan kelat. Perasaan tersinggung dan marahnya akibat lambatnya respon dan sikap suami yang begitu minim dan apatis mendadak sirna. Dia meremas kedua tangannya yang basah. Perlahan-lahan, dia juga bisa merasakan kedua matanya yang mendadak terasa panas.

Wanita itu sulit menuruti permintaan sang suami untuk mengatakannya lagi. Apakah pria itu tidak menyadari bahwa harus ada keberanian dan kekuatan yang besar untuk mengatakan kalimat itu lagi?

Apakah dia tidak mengerti rasa sakit luar biasa yang tertuang dalam setiap kata dalam kalimat itu saat diucapkan?

Ni Lara menarik napas pelan. Dia memang tidak bisa mengharapkan apa pun dari suaminya. Untuk itu, Ni Lara berusaha menahan diri sekuat mungkin agar tidak menangis meski jantungnya semakin berdegup cepat. Tidak apa-apa, mungkin ini memang yang terbaik untuk mereka, pikirnya.

Setelah menggantungkan pertanyaan sang suami dalam beberapa detik—yang semakin meningkatkan suasana sunyi di antara mereka menjadi kecanggungan yang begitu kental tak kentara, Ni Lara kembali berucap,

"Aku ingin cerai, Mas."

Kali ini ia langsung bertanya. "Kenapa?" Pria itu kemudian menepuk sofa di sisinya dengan lembut. "Duduk sini, Ni."

Ni Lara menggeleng. Menatap wajahnya, berada di dekatnya, mendengar suaranya terasa sangat perih menyakitkan.

Wanita itu memilih duduk pada sofa tunggal yang berlawan dari sang suami. Dia menunduk, tidak berani menatap kedua mata suaminya yang pasti kini sedang menatap lurus ke arahnya—dengan sorot dingin dan lembut yang hanya selalu tertuju kepadanya.

Ni Lara meremas gaun tidurnya sendiri dengan kuat saat ia mendengar helaan napas suaminya.

"Mas ada salah, Ni?" tanya pria itu.

DI LUAR RENCANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang