Aksara Gio Sanjaya, lelaki yang berumur 16 tahun itu sedang buru-buru melangkahkan kakinya di anak tangga. Setelah sampai diruang makan ia hanya melihat keluarga Sanjaya, atau bisa dibilang keluarganya sedang bersarapan tanpa dirinya.
'Sesusah itu ya buat nungguin gue?' batin Gio. Sekarang ia sudah tidak mood untuk sarapan bersama keluarganya. Ia pun membalikkan badannya untuk pergi. Tapi tiba-tiba,
"Mau kemana kamu? Sini duduk."
Gio yang tadinya ingin pergi, malah tidak jadi karena ada perintah sang kepala keluarga Sanjaya, Afkar Dipta Sanjaya. Gio pun kembali dan duduk di antara sang kakak dan sang adik.
"Lama banget kamu, ngapain aja coba semaleman?" Tanya sang ayah sembari melanjutkan makannya.
"Aku belajar semaleman yah, hari ini kan udah mulai ujian."
"Sok-sokan pinter kamu, palingan ujung-ujungnya nilaimu sama saja kayak semester lalu." Ucap Dipta yang membuat hati Gio sedikit terluka.
"Lihat kakakmu, Deon. Ia sudah bisa mendapatkan banyak piala karena ikut lomba sana-sini. Adikmu juga sudah banyak mengikuti lomba taekwondo dan mendapatkan medali emas. Kamu? Saya aja gak pernah lihat kamu pulang bawa apa-apa." Kali ini Ibunya yang berbicara, Sabina Margaretha.
'Apa gak bisa kalian hargai gue sedikitpun?'
"Saya nyesel punya anak kayak kamu, sedikitpun gak berguna. Bahkan, Vino yang punya penyakit pun bisa berprestasi. Punya dosa apa saya sampai punya anak kayak kamu?" Ucapan Dipta benar-benar menyayat hati Gio kali ini.
"Yah, mah. Aku tahu aku gak sepintar atau seberprestasi kayak kakak sama adik! Tapi bisa gak kalian menghargai aku sedikit aja, aku udah mau belajar buat bikin kalian bangga. Bahkan aku sampai gak tidur buat kalian! Stop banding-bandingin aku sama Deon dan Vino! Kita itu beda!" Bentak Gio tersulut emosi, sambil berdiri.
Dipta yang mendengar bentakan dari Gio pun, langsung mendekatinya. Gio pun melihat ayah nya memberi tatapan tajam ke arahnya. Tak segan-segan Pak Dipta menampar pipi putih itu, suaranya jelas sangat nyaring.
"Buat apa kamu membentak orang tua mu, hah?! Saya ataupun Sabina tidak pernah mengajari anak-anak kami berbicara seperti itu!"
Gio hanya bisa tersenyum pahit.
"Kalian gak sadar kalau kalian yang bikin aku jadi kayak gini?"
Rashaka Deon Sanjaya, atau si anak sulung hanya bisa menatap Gio dengan mata sedih. Sungguh, ia ingin mendekati dan menolongnya tapi kenapa ia tidak bisa melakukan itu?
Alvino Adiasta Sanjaya juga hanya bisa menatap sang kakak keduanya ini.
"Apa maksudmu? Kami yang membuatmu seperti ini?!" Bentak Dipta lagi.
Sabina pun mendekati suaminya, berusaha menenangkan Dipta.
"Yah, udah yah."
Gio pun segera meninggalkan ruang makan itu dengan hati yang sangat terluka.
'Mereka emang gak sadar ya?'
Gio menaikkan motor nya dan menghidupinya. Ia pun berkendara menuju sekolahnya. Sambil berkendara ia juga sambil melihat langit. Langit pagi ini sungguh cerah, pikirnya.
Pada pagi hari ini memang, langitnya sangat cerah dan indah. Namun, mengapa anak tengah dari keluarga Sanjaya ini malah mendapatkan tamparan dan makian?
Begitulah awal mula kehidupan Aksara Gio Sanjaya, anak yang memiliki tiga peran dalam dirinya. Sebagai kakak yang harus mengalah, sebagai adik yang harus menurut, dan sebagai anak yang harus selalu mengerti kepada orang tuanya.
Jikalau, ia ditanya.
Apakah kau baik baik saja?
Jujur, ia hanya bisa menjawab.
Ya, aku baik-baik saja.
Padahal sungguh, didalam hatinya banyak terdapat luka yang ditimbulkan bahkan oleh keluarganya sendiri.

YOU ARE READING
Anak Tengah dan Segala Usahanya.
ChickLitSering orang bilang jika anak sulung itu harus mempunyai bahu yang kuat, dan anak bungsu harus menjadi anak yang berbakat, lantas si anak tengah harus berperan sebagai apa? Jika anak sulung lebih disayang Ayah, dan anak bungsu lebih disayang Ibu, la...