4. Tak Dianggap?

107 10 3
                                    

"Dek, bangun dek."

Tidur Gio terbangun karena ada suara dari sang kakak. Gio pun membuka matanya perlahan.

"Dek, badan lo kok bisa panas banget kayak gini? Lu kehujanan tadi?"

Gio pun mengangguk sebagai jawaban.

"Ya habisnya gimana, si Vino minta diantar gue. Terus tadi juga mau mendung, jas hujan yang selalu ready di gue cuma satu. Yakali, gue kasih Vino kehujanan, penyakitnya bisa kambuh lagi. Nanti ujung-ujungnya gue lagi kan yang disalahin?" Jelas Gio.

'Lo gak mikirin diri lo, Gi?' Batin sang kakak dan sambil berdiri.

"Bentar, gue bakal ambil lo obat dulu." Baru saja Deon melangkahkan kalinya untuk membuka pintu, ia mendengarkan suara Sabina yang berteriak panik. Deon membuka pintu dengan cepat. Ia melihat Vino sudah dalam kondisi lemah, penyakitnya kambuh lagi.

Gio pun juga langsung berlari kearah ruang tamu. Baru saja ia sampai ia langsung mendapat amarah dari Sabina.

"Gio! Ini semua gara-gara kamu ya! Kamu ini bisa-bisanya biarin adik kamu keguyur hujan, udah tau adiknya mudah sakit! Kamu ini punya akal gak sih?!"

Gio terpaku, ia hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat. Sambil menahan sakit dihatinya. Padahal, ia juga sakit. Apakah Sabina tidak menyadari jika dari tadi mukanya juga pucat?

"Bu, Gio juga dema-" ucap sang kakak terpotong karena tiba-tiba sang ayah, Dipta. Mendekati anak keduanya sambil mengepalkan tangannya.

"Apa-apaan kamu, Gio?! Sudah jelas tadi hujan kenapa masih membiarkan adikmu kehujanan, hah?! Saya kecewa sama kamu, jadi kakak aja gak becus." Ucap Dipta dengan penuh tekanan di kalimat 'Saya kecewa sama kamu.'

'emang ayah pernah gak bikin kecewa aku?'

"Kita akan segera pergi kerumah sakit. Gio gak usah ikut. Gak pantes seorang kakak yang mencelakai adiknya ikut." Ucap Dipta sembari menggendong Vino kemobil, diikuti oleh Deon dan Sabina.

Gio hanya bisa berdiam diri.

Sakit.

Itulah kata yang bisa Gio dikatakan, sungguh sakit demamnya tak sebanding dengan kata-kata orang tuanya yang menusuk hatinya. Gio membaringkan badan lemahnya di ranjang. Ia masih terbayang-bayang kata-kata orang tuanya.

Kamu ini punya akal gak sih?!

Udah tau adiknya mudah sakit!

Saya kecewa sama kamu.

Jadi kakak aja gak becus.

"Yah, mah...Gio juga sakit...Gio juga butuh pelukan dari kalian...Apa Gio emang gak sesempurna Deon sama Vino, ya? Gio juga pengen tahu rasanya pulang sekolah dijemput ayah sambil ditanya 'Gimana sekolah kamu, Gio?'. Aku juga pengen tahu mah, gimana rasanya mama bilang aku "
'Selamat ya, sayang...Mama bangga sama kamu.'...Kapan aku bisa dapet perlakuan itu?"

Air mata Gio terus mengalir. Ia tidak dapat menahan air matanya untuk malam ini. Gio menatap langit-langit kamarnya.

"Capek. Gue capek. Gak dianggep itu sakit banget ya? Hahahaha."

Tawa pahit Gio keluar. Ia hanya ingin menganggap hidupnya yang sekarang itu baik-baik saja. Perlahan mata yang membekak gara-gara menangis itu pun tertutup juga. Gio tertidur lelap, sangat lelap.

"Jadi anak tengah mah gini-gini aja. Ayah lebih memerhatikan si sulung, dan Ibu lebih memfokuskan si bungsu. Lalu, gue sebagai anak tengah ingin bertanya. Lantas, si anak tengah diperhatikan siapa? Difokuskan siapa?
- Aksara Gio Sanjaya.


End.

Anak Tengah dan Segala Usahanya.Where stories live. Discover now