"Langkah kecil yang diambil hari ini bisa menjadi permulaan dari perubahan besar esok hari. Teruslah berusaha dan percayalah pada diri sendiri. Ketenangan adalah kekuatan, setiap usaha yang kamu lakukan adalah jalan menuju impian. Kadang, keberanian bukan berarti tidak merasakan takut, tapi menghadapinya meski rasa takut menguasai"
•••
.
Alarm di meja berbunyi, memecah keheningan, arunika melirik jam yang tergeletak di meja—pukul 6 pagi. Hari pertama di sekolah baru tiba. Sejak semalam gadis itu sudah gelisah, dan tidak bisa tidur nyenyak, terganggu oleh beragam pikiran yang terus menerus berputar tentang apa yang terjadi hari ini. Pagi ini pun semua terasa menjengkelkan. Tubuhnya terasa lelah, meskipun baru bangun. Dalam keadaan seperti ini, mandi terasa seperti tugas yang sulit dilakukan, dan sarapan menjadi rutinitas yang membosankan.
Saat melangkah, suara air yang mengalir sedikit menenangkan, meskipun pikirannya masih berkecamuk.
"Apa sebaiknya tidak pergi sekolah hari ini?" Batinnya mulai merasa firasat buruk. Ia bahkan membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi di sekolah baru. takut menjadi sasaran bully, atau mungkin merasa terasing.
Dengan susah payah, Arunika keluar dari kamar mandi dan menuju meja makan. Ibunya tampak sudah menunggu.
"Bu, kalau hari ini aku tidak masuk sekolah, boleh?" tanya Arunika, suaranya hampir tak terdengar, tetapi nada keraguannya jelas.
"Kenapa?"
Arunika berkedip kedip dengan perasaan cemes, ia tidak mungkin menceritakan bahwa mimpinya itu yang membuatnya tidak ingin kesekolah. Harus bagaimana agar ibunya mengerti.
Sang ibu menatap dengan penuh pengertian, mengangkat cangkir teh sebelum menjawab.
"hari pertama itu sangat berarti. Jika kamu tidak hadir, kamu akan kehilangan banyak hal yang penting untuk masa depanmu. Kamu bisa saja menyesal jika melewatkannya."Ia masih terpaku, perkataan ibunya benar, namun tetap saja.
Sang ibu menyadari keraguan itupun tersenyum lembut, mencerminkan keyakinan dan dukungan. "Percayalah, Ini adalah babak baru. Kamu harus berani mengambil langkah ini. Hari pertama adalah kesempatanmu untuk menetapkan jejak yang baik. Jangan biarkan ketakutan menghentikanmu."
"Tapi, bagaimana jika..."
"Cobalah, dan lihat bagaimana hasilnya. Ibu percaya kamu bisa menghadapi apa pun yang datang," potong sang ibu dengan penuh keyakinan.
Mendengar kata-kata ibunya, meskipun masih ragu, Arunika akhirnya memutuskan untuk pergi ke sekolah. Dengan langkah berat, ia berpamitan dan bersiap untuk menghadapi hari barunya.
Setiap langkah terasa seperti mendaki gunung yang curam. Bayangan tentang kemungkinan terburuk mengganggu pikirannya, memunculkan skenario-skenario yang lebih menakutkan dari sebelumnya. Gadis itu berusaha keras untuk tidak membiarkan ketakutan ini menghalangi kesempatan yang ada. Ini adalah momen yang terlalu penting untuk dibiarkan lenyap hanya karena rasa takut yang berlebihan.
Sesampainya di sekolah, suasana terasa canggung. Pagi itu, seluruh area sekolah dipenuhi oleh siswa-siswa baru. Arunika berdiri di tengah kerumunan, merasa seperti orang asing di antara mereka.
Kepala sekolah memberikan sambutan di lapangan, suaranya menggema di ruang terbuka.
"Selamat datang di sekolah, anak-anak. Hari ini menandai awal dari perjalanan baru kalian. Manfaatkan kesempatan ini untuk mengenal lingkungan baru dan memulai babak baru dalam pendidikan kalian," ujar kepala sekolah dengan nada berwibawa.
Semua murid mendengarkan dengan penuh perhatian. Arunika melirik sekeliling, berusaha menyerap informasi sebanyak mungkin. Di tengah kerumunan, tanpa sengaja ia melihat dua sosok yang sangat familiar. Bela, sahabatnya sewaktu di sekolah dasar, sekarang tampak jauh berbeda.
Di sampingnya juga ada teman yang lain, rania. Karena belum sepenuhnya pulih, Arunika tiba-tiba merasa terkena serangan panik.
Harapan satu-satunya semoga mereka tidak melihat atau mengingatnya.
Keringat dingin mulai membasahi tengkuknya. Napas pun terasa sesak, ia kesulitan untuk mengendalikan diri. Di kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus bermunculan, "Bagaimana jika mereka mulai mengganggu lagi? Bagaimana jika mereka ingat aku dan membully lagi?"
Namun, Bela tampak sibuk dengan teman-temannya dan tidak memperhatikannya .
Upacara pembuka MPLS di aula adalah kesempatan untuk mengenal fasilitas dan kegiatan sekolah. Suasana formal dan agak menekan. Arunika duduk di kursi yang ditentukan, jantungnya berdebar. Meskipun acara ini bertujuan memberikan informasi, gadis itu kesulitan untuk benar-benar fokus.
"Selamat pagi, semuanya. Senang kalian bisa bergabung di sini. Hari ini adalah awal perjalanan baru, dan kami di sini untuk membantu kalian beradaptasi," kata kepala sekolah dengan nada ramah.
Usai upacara, para calon siswa baru dibagi dalam beberapa kelompok untuk tur fasilitas sekolah. Arunika berusaha keras supaya tidak kelihatan tegang dan mencolok diantara kerumunan itu.
Setelah kelompok di bagikan, masing-masing kelompok yang berjumlah 15 orang di bimbing oleh senior yanga akan membawa mereka mengenali berbagai macam fasilitas sekolah.
arunika dan bela untung saja ditempatkan di kelompok yang berbeda.
"Gimana nih tur-nya?" tanya seorang senior yang memperkenalkan dirinya sebagai kak agus ia tampak ramah.
"Aduh kak.. kayaknya Belum terlalu ngerti, sih,"balas salah satu siswa baru
"Kak, ada waktu berapa lama untuk tur ini?" tanya seorang siswa, tampak bingung.
Kak Agus tersenyum. "Sekitar satu jam. Setelah itu, kita akan makan siang bersama, berkumpul diaula utama. Jangan khawatir, kakak akan memandu kalian sepanjang tur ini."
Tur fasilitas berlangsung hingga siang. Selanjutnya para siswa diperkenalkan pada ruang-ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan berbagai area lain di sekolah.
Menjelang sore, semua siswa berkumpul kembali di aula untuk sesi penutup hari pertama. Di sini, mereka mendapatkan informasi tambahan tentang aturan yang harus dilakukan untuk esok hari.
Hari pertama MPLS berakhir, dan bel berbunyi menandakan akhir dari kegiatan hari itu.
Arunika pulang ke rumah dengan langkah berat dan langsung menuju kamarnya tanpa banyak bicara. Ibunya yang sedang menyiapkan makan malam memanggilnya dari dapur.
"Bagaimana hari pertamamu?" tanya ibunya dengan nada ringan, sambil melanjutkan aktivitasnya.
Arunika hanya merespons dengan ibu jarinya tanpa menoleh, ia berjalan ke kamar
"Kalau kamu butuh bicara atau butuh sesuatu, ibu ada di sini," katanya, sambil melanjutkan masakannya.Gadis itu hanya mengangguk ringan dan masuk ke kamar. Ia duduk di meja belajar dan mulai menulis di jurnal, berusaha meredakan pikirannya.
Malam tiba, dan Arunika berbaring di tempat tidur. Dengan perasaan campur aduk, ia memejamkan mata, berharap hari esok akan lebih baik.
Kegelapan malam seolah membungkusnya dalam keheningan, sementara jam dinding yang berdetak membuatnya semakin gelisah.
Di luar kamar, ibunya masih berada di dapur, suara panci dan wajan perlahan menghilang seiring waktu. Arunika mendengar langkah kaki ibunya mendekat ke pintu kamarnya.
"Arunika, sudah siap makan malam?" tanya ibunya dengan lembut, mengetuk pintu.
Arunika mengangkat kepala dari bantal. "Aku nggak lapar, Bu. Terima kasih."
Ibunya mengerti dan tidak memaksa. "Baiklah. Kalau kamu berubah pikiran, tinggal panggil ibu."
Setelah itu, Arunika kembali menutup matanya. Suasana malam yang tenang membantunya sedikit meredakan kegelisahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinar Dibalik Awan Gelap
Teen FictionArunika menghadapi banyak hal baru, ia mengalami kebingungan dan masalah emosional, serta kesulitan untuk terbuka karena sifatnya yang introvert dan cenderung tidak enakan. Saat bertemu Rumi, ia mulai mendapatkan dukungan untuk menghadapi tantangan...