Rasanya peran utama memang hanya ada di dalam imajinasi, di dunia nyata semua nya rata, tanpa pembeda. Mereka selalu berusaha untuk tetap mendapatkan validasi dari orang lain, begitupun sebaliknya. Tidak usah merasa paling tersakiti, gak semuanya harus tentang kamu.
Pagi itu seperti biasa rumah ramai dengan suara ibu kepala 3 yang sibuk mengurus anaknya yang akan berangkat sekolah dan suaminya yang akan berangkat kerja. Hari itu hari Kamis, tepatnya tanggal 3 September 2020. Lain dengan adiknya, sang kakak perempuan malah tetap diam di dalam kamar tanpa ada suara. Ibu nya menyangka anak perempuannya itu masih tertidur, jadi ia hanya memanggil saja dari arah dapur.
"Kak bangun udah siang!" teriak sang Ibu.
Perempuan itu keluar dari kamar dengan jaket besar yang menyelimuti badannya. Berjalan dengan kepala yang menunduk, rambut itu menutupi seluruh wajahnya. Ibu nya hanya menggelengkan kepalanya pelan melihat tingkah anak perempuannya itu. Mereka kemudian kembali sibuk melakukan aktifitasnya masing-masing.
"Kamu nanti berangkat bareng Kakak, jangan lama siap-siap nya. Berangkat sama Ayah," ucap sang Ibu pada anak laki-laki bungsunya yang masih kelas 2 SD.
Meja makan pagi itu mendadak hening, yang biasanya ramai karena candaan dari kedua anaknya, kini mendadak suram. Ibu hanya menatap anak sulungnya yang sedari pagi diam tidak berani menatap wajah ibunya. Begitupun dengan suaminya, biasanya setiap pagi ayah dan anaknya itu pasti bercanda ringan, entah ada apa dengan pagi ini yang terasa sangat muram.
"Kamu nanti–"
"Aku berangkat sendiri aja, Bu. Bawa motor," ucap anak perempuannya itu.
Ibunya mengangguk meng-iyakan ucapan anaknya tanpa berpikir aneh-aneh. Mungkin emang anaknya itu sedang memiliki suasana hati yang buruk. Selesai sarapan rumah menjadi semakin sepi, sang Ibu ditinggal sendiri didalam rumah yang cukup besar itu.
Disisi lain sepanjang jalan, Dara, anak pertama dari keluarga kecil di rumah nya menjalankan motor dengan sangat pelan. Air matanya terus menetes membasahi pipinya, untunya helm menutupi sebagian mukanya yang sudah sembab.
Malam itu, entah apa yang ada di pikiran sang Ayah. Cukup berani untuk melakukan hal tidak senonoh di dalam rumahnya sendiri. Sungguh, Dara merasa sangat kotor saat ini. Entahlah apa yang akan ia lakukan, yang jelas memberitahu Ibunya bukan hal yang bagus.
Tak terasa setengah jam berlalu kini Dara sudah sampai di parkiran sekolah. Ia melepaskan helmnya dan mengelap air matanya, tidak ingin menjadi pusat perhatian karena matanya yang sembab.
"Dara!"
Suara melengking dari arah belakang tak dihiraukan sang pemilik nama. Ia terus berjalan menuju kelas tanpa berniat menoleh sedikitpun. Merasa kesal karena panggilannya diabaikan, Vanya yang tadi memanggil Dara menarik tas Dara pelan.
"Bisa diem gak sih?!" bentar Dara merasa kesal.
Vanya yang tiba-tiba dibentak Dara langsung terdiam. Wajah yang awalnya ceria kini berubah menjadi murung pertanda kesal karena kelakuan sahabatnya itu. Vanya lalu meninggal Dara berjalan cepat menuju kelasnya sambil menggerutu kesal. Dara yang melihat sahabatnya itu hanya terdiam melihat punggung sahabatnya yang semakin menjauh dengan cepat.
Kelas Dara berada diujung, sehingga jalan menuju kelasnya membuat Dara melewati kelas-kelas lain. Temannya di kelas lain juga terbilang cukup banyak, karena Dara anak yang berprestasi juga ramah membuatnya dikenal banyak orang sebagai pribadi anak yang sempurna. Biasanya setiap pagi akan banyak yang menyapa Dara dengan senyuman, namun pagi ini semuanya malah menatap aneh kearah Dara. Karena tatapan itu Dara tetap berjalan menunduk menuju kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untungnya, Hidup Terus Berjalan
Dla nastolatkówBertahan hidup dengan kondisi terus tertusuk memang tidak semudah itu. Tanpa semangat, dalam keadaan hampa, tanpa didengar, sungguh perih dan arogan. Tuhan, tolong berikan ia kesempatan setidaknya untuk menikmati hidup walau hanya beberapa menit saj...