3. Camilla: Definite

290 10 2
                                    

CAMILLA
"Definite"

○●○

DI DEPAN NISAN AYAH dan ibu, aku menebarkan buket bunga untuk masing-masing dari mereka. Ada beberapa buket bunga lain yang berdiri di depan nisan mereka, semua bunganya sudah layu dan berubah warna menjadi cokelat. 

Nisan mereka sama seperti nisan orang-orang lain yang ada di pemakaman privat ini.  Perbedaannya adalah nisan marmer dengan ukiran nama mereka masih terlihat lebih baru dari yang lain.

Tidak ada makam relatif yang bersanding di kanan dan kiri mereka. Mereka adalah generasi Voclain pertama yang dimakamkan di Amerika Serikat, bukan Prancis. Itu ada pada permintaan terakhir mereka untuk dimakamkan di sini.

Di antara ketiga saudaraku, aku merupakan orang yang paling susah untuk maju setelah kematian ayah dan ibu. Di satu sisi aku dapat memahaminya karena saudaraku tidak punya hubungan baik dengan orang tua kami.

Di sisi lain, rasanya semuanya sangat tidak adil. Aku masih belum siap untuk kehilangan mereka. Aku tidak tahu apakah aku dapat melalui hidupku selanjutnya tanpa mereka karena mereka adalah satu-satunya teman berbicaraku mengenai banyak hal.

Aku dapat merasakan seseorang yang memperhatikanku dari belakang punggung. Tidak perlu menoleh pun aku tahu siapa pria tersebut. 

"Sorry for waiting." Aku membuka mulut, akhirnya menoleh ke arah kakak sulungku, Valentino yang berdiri enam kaki dariku dengan santai.

"It's fine." Ia menjawab datar. 

Aku merapikan pakaianku, memasang kembali jaket sambil menyelempangkan tas di siku sebelum berjalan ke arah Valentino yang memperhatikan makam ayah dan ibu sambil meregangkan rahang.

"Kau baik-baik saja?" Aku bertanya, berjalan berdampingan dengannya kembali ke pintu gerbang utama.

"Seperti biasa." Valentino masih menjawab dengan nada dasar yang sama.

Aku memutar mata, meremas punggungnya sebelum tersenyum. "Kau tahu kau selalu bisa berbincang denganku, 'kan?" 

Valentino meraih lenganku, membantuku melewati kolam lumpur jeru yang membuat sepatu Sophia Webster baru milikku dipenuhi tanah basah. 

"I know." Valentino menarikku menjauh dari lumpur, membuatku bernapas lega setelah aku tidak kehilangan sepatu baruku.

"Then why don't you tell me?" Aku kembali berjalan di sampingnya sambil memperhatikan mobil milik Valentino yang bersiap di depan gerbang.

"Tidak ada yang perlu dikatakan."

"You know that's a lie." Aku membantah ucapannya. "You don't have to carry our parents' burden alone."

"Ada banyak hal yang mengganggu pikiranku dan aku lebih suka untuk menyelesaikannya sendiri dengan caraku." Di depan gerbang, Valentino membiarkanku untuk masuk terlebih dahulu sebelum ia menyusul di belakangku. "You deal with your own shit, I deal with my own."

Bibirku mengerucut. "Apa ini masih ada hubungannya dengan Evangeline?"

Mendengar kalimat terakhir yang aku ucapkan, pria tersebut menarik napas dalam-dalam  sambil menarik dasinya dengan tidak nyaman. "Tidak. Aku sudah menemukannya."

Satu ujung bibirku terangkat. "And it took you ... thirteen years. Does your coding and hacking ability start to slack off, Brother?"

Uap imajinasi dapat aku lihat mengepul di depan hidungnya. "Fuck off."

"Bagaimana kau menemukannya?" Aku bertanya bingung. Pria itu selalu kukuh untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, tapi kepasrahannya untuk mencari wanita masa lalunya tersebut menyebabkan ia dengan putus asa meminta bantuanku untuk mencari. Sayangnya aku tidak dapat menemukan lokasinya sama sekali.

Deal Breaker (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang