Awal tahun ajaran baru. kelas 10 SMA Nusa Persada. Beberapa anak telah berkumpul didalam kelas mereka masing-masing menunggu datangnya wali kelas mereka. Tak terkecuali Rin yang duduk di ujung kelas sambil menatap keluar jendela. Tak ada yang mau menyapanya karena tatapan tak ramah itu.
Rin tidak menanggapi keramaian disekitarnya dan mengambil buku catatan berwarna pastel miliknya. Dengan spidol hitamnya, ia menggambar sesuatu disana. Seorang perempuan teman sekelasnya mengintip dari belakang.
"Bintangnya lucu, seandainya ada warna disana.." katanya. Rin hanya diam.
"Aku Farah, kamu?" tanyanya. Rin tak menanggapinya.
"Hei," Farah memancing lagi kali ini sambil menepuk bahunya pelan. Rin menoleh dan menatapnya dengan tajam.
"Kau berbicara denganku?" tanyanya tak ramah. Farah diam tak bergeming kemudian duduk ditempatnya karena wali kelas mereka sudah datang.
"Selamat pagi" sapa seorang lelaki yang masih terlihat muda. Ia memakai kemeja biru muda dengan dasi biru tua bergaris putih. Sapaannya itu dibalas hangat oleh semua murid.
"Nama saya Ryan, kalian bisa memanggil saya dengan sebutan 'pak Ryan'. Pada pertemuan pertama kita, bapak ingin kalian memperkenalkan diri masing-masing ke depan kelas." Ujarnya. pak Ryan lalu menggoreskan spidol di papan tulis. "Sebutkan nama panjang, nama panggilan, asal sekolah, alamat rumah, hobi, dan cita-cita kalian."
Rin menghela nafas lega karena duduk di bangku paling terakhir. Tapi ia kemudian terpengarah karena pak Ryan menunjuk ke bangku paling ujung bagian kiri. Jantung Rin berdebar dengan cepat. Ia sedikit bersyukur memilih di bagian kanan. Ia menelan ludah karena sebentar lagi gilirannya.
"Kamu yang diujung." Kata pak Ryan menunjuk Rin. Rin menggigit bibirnya kemudian berdiri dan berjalan ke depan kelas.
"Nama saya Erina Liliana Franz, nama panggilan saya Rin. Saya berasal dari SMPN 2. Saya tinggal di kompleks perumahan melati nomor 7. Hobi saya membaca dan mendengarkan musik. Cita-cita saya..." setelah begitu lancar ia memperkenalkan dirinya, Rin terdiam. Pak Ryan menyadari hal itu.
"Apa? Apa cita-citamu?" Tanya pak Ryan. Rin terdiam menyadari seluruh tatapan di hadapannya. "Katakan saja, tak ada yang akan mengejek bukan?" pak Ryan bertanya kepada semua murid dikelas. Semuanya mengangguk.
"..jaksa." ujarnya pelan. Semua terdiam. Setelah Rim duduk ditempatnya, semua bertepuk tangan. Perkenalan kembali ke murid selanjutnya. Mata pak Ryan kemudian menuju ke arah Rin yang duduk dengan tatapan kosong keluar jendela. Ia mengenal tatapan mata itu. sorot mata yang begitu jernih.
Setelah perkenalan selesai, pak Ryan bangkit dari kursinya dan maju kedepan kelas.
"Saya adalah guru Seni budaya dan Pembina ekskul astronomi. Ya, saya tahu itu tidak ada hubungannya, tapi jika ada yang berkenan mendaftar silahkan ambil formulirnya di meja bapak." Ujarnya. "selama seminggu kedepan kita belum akan memulai pelajaran, jadi pasti akan sangat membosankan jika tidak ada kegiatan. Tugas kalian dirumah adalah membuat karangan tentang cita-cita kalian. Alasan kenapa kalian memilih cita-cita itu."
"setelah itu dipresentasikan pak?" Tanya seorang anak lelaki disamping Rin. Pak Ryan tersenyum
"Sayangnya iya, Viri." Balas pak Ryan ramah. "oh iya, bapak punya pertanyaan. Yang bisa menjawabnya, akan mendapat giliran terakhir dalam presentasi besok." Ujarnya. semua anak kemudian duduk dengan serius mendengarkan, kecuali Rin. Pak Ryan tersenyum simpul.
"Merupakan sistem dua bintang diangkasa." Semua yang mendengarnya menelan ludah.
"Dia bisa disebut bintang kembar karena terdiri dari bintang deret utama dan bintang katai putih." Semuanya kini mulai kesulitan menjawab.
"Bintang deret utamanya merupakan bintang yang paling terang dilangit malam." Kini terlihat semua menyerah menjawab.
"mereka terpisah satu sama lain, tapi dapat bertemu dalam beberapa waktu, dan jika mereka bertemu... ya Rin?" pak Ryan menghentikan perkataannnya karena Rin mengangkat tangannya. Seisi kelas terpengarah dan menoleh ke arah Rin. Rin menelan ludah.
"Kamu tahu jawabannya?" tanya Viri disamping Rin. Rin tidak menjawab.
"Kenapa Rin?" Tanya Pak Ryan. Semua terdiam menunggu jawaban Rin.
"Jawabannya.. Sirius" kata Rin pelan.
"Apa?" Tanya Pak Ryan lagi karena tidak terlalu mendengarkan.
"Jawabannya Sirius. Bintang Sirius." ulang Rin lagi. Kali ini sangat yakin. Semua mata kemudian kembali menatap Pak Ryan. Menunggu jawaban yang benar. Pak Ryan tersenyum.
"Tepat sekali Rin!" katanya senang. "Kalau begitu urutan presentasimu besok menjadi yang terakhir ya." Rin mengangguk. Semua mengeluh kemudian.
"Nggak adil! Pertanyaannya susah sekali!" sahut Farah. Pak Ryan tertawa.
"Baiklah... yang lebih mudah ya?"
"Ya!" jawab seisi kelas kompak. Rin tidak memperhatikan. Ia terus menatap keluar jendela dengan tatapan kosong yang jernih.
"Sirius..." ia bergumam pelan.
_____
Pagi kembali datang, Rin berjalan menuju kelasnya. Langkahnya lalu terhenti karena Pak Ryan berdiri dihadapannya.
"Maaf Pak." Ujarnya lalu bergeser, tapi Pak Ryan ikut bergeser seakan menghalanginya. Rin mengangkat kepalanya menatap Pak Ryan kesal. Pak Ryan hampir tertawa melihat tatapan itu.
"Ini." Katanya seraya menyerahkan kertas formulir pendaftaran. Rin menerimanya dan melihatnya sekilas.
"Maaf, saya tidak tertarik. Saya akan mendaftar di ekskul musik." Katanya. Pak Ryan belum menyerah.
"simpan saja kertas itu. saya lihat kamu berbakat di bidang astronomi." Ujarnya memuji. Rin hanya menyeringai mendengarnya.
"Itu kebetulan." Katanya lagi sambil menyerahkan kertas itu. Pak Ryan menolaknya.
"Simpan saja kertas itu." ujarnya lalu pergi. Rin terdiam menatap kertas itu. ia kemudian melipatnya kasar dan memasukkannya ke dalam tas dengan buru-buru.
_____
"Baik, selanjutnya adalah Rin!" kata Pak Ryan antusias. Rin maju kedepan kelas sambil membawa kertas karangannya. Hanya kertas biasa dengan tulisan seadanya. Berbeda dengan anak lainnya yang menulis lebih dari selembar.
"Aku..dulunya ingin menjadi seorang ilmuwan di institut NASA." Kata Rin. Semua terpengarah. Kini mereka mengerti kenapa Rin bisa menjawab pertanyaan kemarin. Pak Ryan menatap Rin dari tempat duduknya. Ia memperhatikan muridnya itu dengan serius.
"Hanya karena sebuah dongeng yang mengatakan jika kau melihat bintang jatuh dan mengucapkan permintaan, maka permintaan itu akan terkabul." Ujar Rin lagi. "beberapa waktu kemudian aku mengganti cita-cita ku itu. Melihat ketidakadilan yang kuterima, aku kemudian ingin menjadi seorang jaksa. Semua itu kulakukan agar aku bisa menegakkan keadilan." Rin melipat kertas karangannya dan ebrjalan menuju mejanya. Semuanya bertepuk tangan.
"Baik, kalian boleh istirahat." Kata Pak Ryan setelah melihat jam tangannya. Beberapa murid pergi keluar untuk membeli makanan, dan sebagian tetap didalam kelas karena membawa bekal. Rin duduk dikursinya sambil meminum susu coklat.
"Hei, hei, cita-citamu sangat keren!" Rin menoleh dan mendapati Viri yang sangat antusias. Ia kemudian menggeserkan mejanya tanpa meminta ijin dari Rin.
"Padahal cita-cita awalmu sangat bagus, kenapa menggantinya hanya karena keadilan?" Tanya Viri. Rin menatap wajah Viri yang antusias itu dengan sebal.
"Kau belum merasakan ketidakadilan, jadi tidak akan mengerti."
"Memang ketidakadilan apa yang kamu terima Rin?" Tanya Viri lagi. Rin tercenggang mendengar pertanyaan itu. Ia hanya diam tak menjawab sedikitpun.
"Hei?" panggil Viri. Rin menatapnya tajam. Kini Viri sadar bahwa Rin tak ingin menjawabnya.
"Kau akan mendaftar di klub astronomi kan?" Tanya Viri sambil memperlihatkan lembaran kertas formulir pada Rin. Rin diam sesaat.
"Tidak." Jawabnya singkat. Viri mengembungkan pipinya.
_____
KAMU SEDANG MEMBACA
Sirius
Teen FictionErina Liliana Franz, murid baru di SMA. Di hari pertama masuk, tatapan matanya telah menarik perhatian gurunya, pak Ryan. Sedikit demi sedikit Ryan mengetahui kehidupan Rin yang sangat berat. Setelah hubungan Rin dan Ryan semakin dekat, Rin menyadar...