5. Kenapa...

218 39 0
                                    

Rin pulang dari sekolah dengan lelah. Saat ia akan berbelok menuju rumahnya, bibi pemilik toko kue keluar menemuinya.

"Rin, boleh aku minta tolong?" pintanya. Rin terpaksa tersenyum mendengar pertanyaan yang tidak memiliki pilihan itu.

"ya.."

"tolong antarkan kue ini pada bu Suci, guru Sejarah SMA Melati. Harganya 240 ya." Jelasnya. Rin mengangguk dan menerima kotak berisi kue itu. setelah bibi itu masuk, Rin menghela nafas kesal tapi tetap berjalan menuju SMA Melati yang tak jauh dari sana.

_____

"Permisi, saya ingin bertemu bu Suci." Kata Rin sopan pada seorang guru yang ada di ruangan itu. guru itu mengeryitkan dahinya melihat Rin.

"Ada apa dengan seragammu? Lagipula sekarang masih jam pelajaran." Ujarnya. Rin tersenyum bingung.

"Maaf, saya dari toko kue mengantarkan pesanan." Kata Rin lagi. Guru itu melihat name tag milik Rin di jasnya kemudian meminta maaf.

"Maaf, kupikir kamu murid di sini. Taruh saja kuenya di meja bu Suci." Ujar guru itu menunjuk meja didekat jendela.

"Eh, tapi beliau belum membayar, bisa saya bertemu?" Rin bertanya sopan. Guru itu melihat kertas dimejanya.

"Bu Suci ada di kelas XF. Diujung lorong." Jelasnya. Rin mengangguk dan tersenyum kemudian berjalan menuju kelas yang dimaksud. Tepat saat dia akan masuk, bel pulang berbunyi. Ia kemudian berhenti dan membiarkan murid di kelas XF keluar terlebih dahulu. Kemudian seorang wanita berambut pendek dengan kacamatanya keluar dari kelas itu.

"Maaf bu Suci, ini pesanan anda." Kata Rin menghampiri dengan senyuman. Bu Suci mengerutkan keningnya.

"Kupikir kamu baru saja ke perpustakaan tadi?" ujarnya. Rin kembali tersenyum bingung.

"Maaf, saya dari toko kue. Harganya 240." Ujar Rin menyerahkan kotak yang dipegangnya. Bu Suci sedikit terkejut melihatnya.

"Oh," katanya. Ia mengeluarkan uang dari sakunya dan memberikannya pada Rin. Rin menerimanya dan memberikan kotak itu pada bu Suci. "terima kasih ya." Ujar bu Suci. Rin tersenyum. Setelah bu Suci berlalu, Rin kemudian memperhatikan lingkungan sekitarnya. Ruang kelas yang sangat elit. Rin berdecak kagum saat melihat ruang kelas yang bersih, luas, dan penuh fasilitas itu.

Seseorang menabraknya kemudian. Rin berpegangan pada pintu kelas sehingga tak terjatuh. Gadis yang menabraknya itu terjatuh dengan buku-buku tebal yang menimpanya. Rin hampir saja tertawa jika tidak menahannya.

"Maafkan aku, tidak seharusnya aku berdiri disini." Ujar Rin sambil mengulurkan tangannya.

"Tidak, aku juga minta maaf karena buru-buru. Buku-buku ini sangat berat." Jelasnya lalu menyambut tangan Rin.

Mereka berdua kemudian terdiam. Mata Rin membulat tak percaya melihat gadis itu. Gadis itu tak kalah terkejutnya dengan Rin.

"A-ap.." Rin tidak melanjutkan. Ia mengeratkan genggaman tangannya itu. "Rika?" panggilnya memastikan. Gadis itu memucat. Rin melihat name tag gadis itu dan terhenyak. "Erika Liliana Franz.." kata Rin membaca nama di name tag itu.

Rika terdiam masih dengan wajah terkejutnya.

"Ka-kamu masih hidup?" Tanya Rin tak percaya. Mendengar pertanyaan itu, sekuat tenaga Rika melepaskan genggaman tangan Rin kemudian buru-buru bangkit dan berlari. Rin menarik tangan Rika cepat.

"Rika.." panggill Rin masih dengan rasa terkejutnya.

"Lepaskan!" teriak Rika. Rin terdiam. Ia mengeratkan cengkeraman tangannya.

"Bagaimana kau bisa tahu aku disini?!" Tanya Rika kasar. Rin masih tidak mengerti dengan sikap itu. "Apa Ryan yang memberitahu?!" Tanya Rika lagi. Kali ini Rin melepaskan tangan Rika.

"Pak Ryan... tahu..?"

Seperti telah salah bicara, Rika menutup mulutnya. "Ja-jangan temui aku lagi! Jangan ganggu hidupku!" Ujarnya lalu berlari entah kemana. Rin berdiri ditempatnya dan berusaha mencerna apa yang telah terjadi.

"Adikku... masih hidup dan.. Pak Ryan... tahu..?" ujarnya pada diri sendiri. Air matanya menetes pelan membasahi pipinya kemudian.

_____

Bel pulang sekolah berbunyi sedari tadi. Rin berjalan lambat menuju tangga.

"Hei Rin!" sapaan itu membuat Rin terhenyak. Ia menoleh dan melihat Pak Ryan yang baru saja keluar dari ruang astronomi. "Kau sakit? Kata guru-guru yang mengajar dikelasmu, kamu sangat tidak bersemangat."

Rin tidak menjawab. Ia kembali menatap kearah depan dan berjalan menuju tangga. Pak Ryan mengeryitkan keningnya. Ia kemudian berjalan cepat mendahului Rin untuk menghadangnya.

"Hei," panggil Pak Ryan lagi setelah menuruni beberapa anak tangga. Rin sedikit menunduk agar dapat menatap wajah Pak Ryan. "mau ikut ke toko buku?" ajak Pak Ryan. Rin tidak menjawab.

Rin terdiam dan berjalan pelan menuruni anak tangga untuk mendekati Pak Ryan. Pak Ryan terdiam dan hanya tersenyum menatap Rin. Berharap Rin ikut tersenyum karenanya. Tanpa diduga, Rin kemudian menyandarkan kepalanya pada bahu kiri Pak Ryan yang kini lebih pendek darinya karena anak tangga. Pak Ryan diam membatu. Perasaannya kini campur aduk tak menentu saat Rin melakukannya.

"Pak, saya percaya pada bapak." Ucap Rin kemudian. Pak Ryan tetap diam.

"Saya percaya bapak berada dipihak saya." Rin melanjutkan. Kali ini dengan mata yang memerah berkaca-kaca.

"Saya percaya."

Setelah mengatakan semua itu, Rin mengangkat kepalanya dan berjalan cepat melewati Pak Ryan. Pak Ryan diam ditempatnya. Kali ini dengan tatapan bersalah yang amat sangat. Sebuah air mata menetes perlahan di pipinya mengingat semua penderitaan yang ditanggung Rin. Seorang diri.

_____

Rin melangkah dengan lambat menuju rumahnya. Beberapa memori terlintas dibenaknya.

"Aku Rika, bukan Rin!"

Suara Rika saat masih kecil tergiang begitu saja dipikirannya.

"Ibu, Rika juga mau boneka beruang itu."

Air mata Rin mengalir pelan mengingat tingkah laku Rika saat itu.

"Kenapa hanya kakak yang diajak ke taman bermain? Kenapa bu?"

Suara isakan kemudian terdengar. Rin melangkah menuju tempat sepi dibelakang bangunan toko. Ia bersandar pada dindingnya dan menangis pelan.

"Tidak adil! Rika juga suka cokelat!"

Suara tangisan Rin semakin keras.

"Sebenci itukah kamu padaku?" Tanya Rin yang sepertinya ditujukan pada Rika dalam bayangannya.

"Sebenci itukah sampai kamu tinggalkan aku sendiri?" Rin kembali mengucapkannya.

"Tak tahukah kamu aku menderita selama ini?"

"Menanggung beban yang tak pernah kusangka selama ini."

Rin mengusap air matanya berkali-kali. Tapi percuma, air matanya selalu kembali turun saat ia sudah mengusapnya.

"Aku... aku merubah cita-citaku demi dirimu.." ungkap Rin sambil menunduk.

"Kenapa bu?"

"Kenapa Rika.."

Suara tangisan Rin yang memilukan itu mengalun sangat lama diantara keributan kota. Tak ada yang menyadari, dan tak ada yang peduli dengan suara itu.

_____

{ UF

SiriusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang