BAB DUA

4 0 0
                                        

Kelas SMP terasa seperti kelas SD. Kami semua belajar setiap hari, guru-guru memberi banyak PR, dan aku masih bertemu dengan teman-temanku dari SD. Tetapi, hanya beberapa dari mereka. Banyak yang sudah pindah sekolah dan berganti dengan murid baru.

Perbedaan yang mencolok hanyalah mata pelajaran dan sikap para murid-murid di kelas. Tiap pelajaran punya kesulitannya masing-masing lebih daripada sewaktu SD. Guru-guru bilang semuanya mudah, tetapi aku tidak bisa menemukan apanya yang mudah. Begitu juga dengan murid-murid lain di kelas.

Tara tampaknya murid dan gadis terpintar di kelas. Ia juga putri pemilik sekolah. Ia tampak mengerti semua yang diterangkan guru di setiap mata pelajaran. Bahkan dalam mata pelajaran Matematika, ia selalu dapat A, A+. Gina, sahabatku sejak kelas dua SD pun selalu meminta bantuan kepadanya kalau kesulitan mengerjakan PR daripada kepadaku. Jadi, sekarang aku lebih sering duduk di meja belajarku di kamar atau di kelas, berusaha untuk menyelesaikan soal Matematika sendiri.

Minggu pertama di sekolah berjalan lancar. Semuanya masih berbaur dan saling bicara dengan lawan jenis. Sampai minggu berikutnya, anak laki-laki mulai berkumpul dengan jenisnya dan otomatis yang perempuan melakukan hal yang sama. Laki-laki mulai menggambar, membuat kelompok kecil dan melakukan aktivitas umum dilakukan anak laki-laki. Namun, justru itu mulai menarik perhatian para anak gadis dan entah bagaimana aku juga ikut tertarik.

Suatu hari, tak sengaja aku melihat Aldi menggambar sesuatu yang menarik perhatianku padanya. Aku sangat penasaran hingga beranjak menghampirinya agar bisa melihat apa yang digambarnya. Aku bertanya-tanya soal gambar dan apa cerita dibaliknya. Dengan semangat, ia menjelaskannya. Imajinasinya sangat kaya hingga aku bisa menggambarkannya sendiri di kepalaku. Namun, gambar yang paling menarik untukku adalah gambar seorang pria memakai jubah dan topi besar berjalan di trotoar dengan kepala tertunduk dalam kegelapan. Sungguh misterius. Setiap detail dan efek bayangannya tampak seperti nyata. Aku tidak tahu ia sangat mahir menggambar seperti itu.

Aldi sangat pendiam. Aku mengenalnya seperti itu sejak kami masih kelas satu. Ia sangat pemalu dan rambutnya selalu tersisir rapi. Ditambah, ia sangat wangi. Kami tidak pernah saling bicara, kecuali saat guru mengelompokan kami dalam tugas kelompok. Saat melihatnya seperti sekarang, aku jadi teringat kenangan manis yang takkan pernah kulupa.

Kejadiannya sewaktu ulang tahunku yang ke-7 di sekolah. Kami semua sedang belajar di kelas. Tiba-tiba saja, Bu Marina meminta kami untuk diam sejenak dan berdiri di meja masing-masing. Namaku dipanggil dan aku diminta untuk melangkah ke depan kelas. Aku gemetar dan ketakutan. Apa aku dihukum? Memangnya aku salah apa?

Aku pun melangkah ke depan kelas dengan takut dan gemetar. Semua pasang mata di kelas melihat ke arahku. Aku merapatkan tangan dan menunduk malu, tetapi masih bertanya-tanya apa salahku? Namun, akhirnya Bu Marina menjelaskan pada murid-murid lain di kelas untuk apa aku dipanggil ke depan kelas saat itu. Aku pun diam-diam menghela napas lega.

Tiba-tiba, ibuku masuk ke dalam kelas. Di tangannya, ia memegang kue ulang tahun warna pelangi dan lemon, serta tujuh lilin kecil yang menyala. Aku kaget dan tidak tahu harus bagaimana. Anak-anak yang lain pun mulai menyanyikan lagu ulang tahun atas permintaan Bu Marina. Hari itu adalah hari kejutan ulang tahunku dan mungkin jadi yang terbaik.

Aku berdoa dan meniup tujuh lilin kecil di kuenya. Lalu, Bu Marina meminta anak-anak lain berbaris di depanku untuk memberi ucapan dan mendapat sepotong kue. Sisanya, kalian pasti sudah tahu, 'kan? Anak-anak gadis menjabat tanganku dan memberi kecupan kecil di pipi. Itu mungkin sudah jadi tradisi di sekolah bertahun-tahun. Namun, Aldi juga memberiku kecupan manis di pipiku.

Cerita tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang