BAB SATU

9 0 0
                                        

SMP itu menyebalkan. Satu hal yang kuingat saat aku masih kelas tujuh SMP. Awalnya menyenangkan akhirnya aku bisa meninggalkan kelas SD selamanya. Yang berarti orang di sekitar akan memperlakukanku dengan berbeda. Aku akan bebas melakukan yang kumau dan juga mengalami apa yang orang dewasa sering katakan. Bersenang-senang dengan teman-teman lebih sering, mengejek guru diam-diam, jatuh cinta dan melakukan hal gila yang lain. Paling tidak, itu yang terjadi padaku saat itu.

Alasan lain aku membenci jadi anak SMP yaitu di pelajaran matematika. Tingkat kesulitannya pelajaran itu meningkat dan aku belum siap. Aku sangat bodoh di pelajaran matematika. Aku selalu mendapat nilai rendah pada setiap tugas sekolah atau ulangan harian yang berhubungan dengan matematika sewaktu masih kelas enam SD. Kuyakin, di kelas ini pun akan jauh lebih buruk. Namun, untunglah guru matematika yang sekarang membuatku sedikit lebih baik.

Bu Mary sangat baik pada semua murid di kelasku. Ia sangat sabar mengajarkan anak yang kesulitan dalam pelajaran matematika sepertiku. Ia bahkan tidak tersinggung atau marah saat teman sekelasku mengejeknya diam-diam. Aku jadi kasihan padanya, tetapi aku juga tidak melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Aku hanya berharap jika Bu Mary tahu apa yang mereka perbuat, mereka akan dapat ganjaran yang besar juga.

Dalam pelajaran lain pun, aku bukanlah yang terpintar di kelas. Tara, anak gadis paling pintar matematika di kelas dan putri dari pemilik sekolah ini. Aku benar-benar pecundang. Ia juga sangat pintar dalam berbagai mata pelajaran lain daripada anak murid yang lain. Ya, ampun, kenapa aku begitu bodoh?

Minggu pertama berjalan baik-baik saja hingga perubahan berangsur-angsur terjadi pada minggu kedua. Anak-anak murid mulai bergaul dengan teman-teman mereka sendiri. Anak laki-laki dengan laki-laki dan anak perempuan dengan perempuan. Itu hal yang baru untukku. Sewaktu kami semua masih SD, semuanya bermain bersama-sama. Namun, sekarang aku mulai merindukannya dan juga akan butuh usaha untukku beradaptasi dengan mereka.

Anak laki-laki mulai membuat kelompok kecil, tetapi tidak semua dari mereka yang bergabung dengan kelompok itu. Yang tidak ikut hanya mengurusi aktivitas mereka sendiri. Tadinya, aku juga salah satunya. Namun itu hanya sebentar saja.

Suatu siang saat jam istirahat, Bayu menghampiri ke meja belajarku saat aku baru akan menyantap bekal makan siangku. Ia memintaku untuk bergabung dengan kelompok kecilnya. Aku lupa apa nama kelompoknya tetapi kegiatannya sangat culun. Mereka hanya membaca buku komik dan membahas film kartun anime. Awalnya, aku tidak tertarik. Namun, ketika aku menoleh ke sekitar dalam kelas dan melihat anak-anak yang lain sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, aku berubah pikiran.

"Ayo, gabung. Seru, kok!" bujuk Bayu yang duduk di kursi dengan posisi berlawanan arah.

"Aku harus apa?" tanyaku.

"Kau bisa gambar, 'kan? Aku lihat beberapa gambarmu di buku itu," katanya sambil menunjuk buku warna cokelat di bawah tumpukan buku-buku pelajaran lain di mejaku.

"Gambarnya jelek."

"Nggak apa-apa. Yang penting gambar saja seperti kami semua." Satu hal yang harusnya mereka pahami, sebenarnya aku tidak bisa menggambar sama sekali.

"Jadi, ikutan atau tidak?" tanyanya menunggu kepastianku.

"Ya... ya, sudah," jawabku ragu. Jadi begitulah bagaimana aku bisa jadi bagian dari kelompok mereka. Aku duduk bersama mereka setiap jam istirahat. Kami membicarakan berbagai hal berkaitan dengan gambar atau kartun, buku komik, bahkan film kartun spesial di Televisi. Kami juga sering menggambar. Buku cokelatku penuh dengan gambar-gambar. Ibu marah saat ia menemukannya dan melihat semua gambar pria berjubah dengan pedang besar yang keren di tangannya dan bukan angka atau kata-kata.

Cerita tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang