BAB TIGA

3 0 0
                                        

Aku sangat mengkhawatirkannya seolah aku ini pacarnya. Sampai aku tersadar akan hal itu. Kenapa harus sampai begitu? Kita 'kan hanya berteman, tidak lebih. Aku tahu terdengar seperti menyangkal. Mungkin ini hanya efek dari rindu yang kurasakan untuknya.

Hariku di sekolah tanpa dirinya tampak membosankan. Aku menghabiskan waktu bergaul dengan 'kelompokku', melakukan yang biasa kami lakukan setiap pagi sebelum kelas dimulai, menggambar. Siangnya, aku menyantap makan siang di bawah pohon di taman sekolah depan kelas satu SD seorang diri sambil menyaksikan anak-anak kelas kecil bermain di lapangan.

Pohon ini sebenarnya tempat Nora dan aku pertama kali makan siang bersama sewaktu kami duduk di kelas dua. Waktu itu, Nora pernah tidak mengizinkanku bermain bersama dengan anak-anak murid lain di lapangan. Entah apa alasannya. Ia terus menarik tanganku dan seolah memaksaku duduk di bangku taman di bawah pohon ini agar kami bisa menyantap makan siang bersama.

"Bagus, ya?" katanya mendongak ke atas dahan-dahan pohon itu di suatu siang saat itu. Bagus adalah kata yang terlalu mencolok untuk pohon tua dan rimbun ini. Pohon itu punya banyak dahan dan daun-daun berguguran yang mengotori sekitar taman sekolah. Apanya yang bagus? "Aku suka pohon ini. Ayo, kita panjat!" ajaknya riang. Aku menggelengkan kepala.

Tetapi, aku ingat ia tetap memanjat pohon itu. Aku hanya melihatnya berpegangan pada batang pohon dan beberapa dahan sambil menyantap makan siangku. Ia memanjat lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Hingga sampai satu spot dimana ia hanya duduk di dahannya. Entah apa yang dapat dilihatnya dari sana. Aku yakin hanya gedung dan lapangan sekolah saja.

Tiba-tiba, guru dan murid yang melihatnya panik dan berteriak memintanya turun dari pohon itu. Awalnya, ia menolak untuk turun sampai Pak Jono, satpam sekolah, datang dan memanjat pohon itu. Ia berusaha menurunkan paksa Nora yang sempat memberontak dari pohon itu. Pada akhirnya, kami berdua dipanggil kepala sekolah untuk menjelaskan apa yang telah terjadi dan disaksikan oleh orang tua kami. Dengan polos, aku menceritakan semuanya dan seolah menyalahkan dirinya. Nora pun dihukum oleh orangtuanya. Sementara, aku hanya ditegur oleh guru. Tak lama, pohon itu pun ditebang karena sudah tua dan mencegah anak-anak kelas lain memanjatnya lagi. Namun sewaktu duduk di kelas lima SD, pohon yang baru ditanam kembali dan tumbuh besar hingga sekarang, walaupun tidak sebesar dan setinggi seperti pohon yang sebelumnya.

Tiga hari berlalu, akhirnya ia kembali masuk sekolah. Wajahnya masih tampak pucat, tetapi kupikir karena masih dalam pemulihan. Kurasa, ia terpaksa masuk sekolah agar tidak tertinggal pelajaran. Saat jam istirahat, aku pergi ke kantin sekolah dan membeli makan siang. Hari itu, aku tidak membawa bekal. Ibuku tidak sempat memasaknya karena kami kehabisan bahan makanan untuk dimasak. Sebagai gantinya, ia memberiku uang saku agar aku bisa membeli makanan di kantin.

Kantin sekolah hanyalah sebuah gedung kecil bekas gudang peralatan di dekat lapangan. Di dalamnya terdapat satu dapur dan kamar mandi pada bagian belakang yang disekat dengan etalase kaca yang panjang. Bu Joko, istri dari Pak Joko, sudah berjualan di kantin itu sejak lama. Sayangnya, hanya ada empat kursi dan meja panjang yang tersedia di kantin itu. Banyak anak-anak murid yang jajan di sana, membeli berbagai macam permen atau minuman dingin. Teman-teman sekelas juga sering sekali bergaul di kantin itu. Kadang mereka harus duduk berdempet-dempetan karena kursi yang terbatas.

Hari itu, di kantin sedang penuh. Aku sudah terlanjur membeli makan siang dan tidak tahu harus duduk dimana. Jadi, terpaksa aku makan siang di bangku taman bawah pohon depan kelas satu SD yang jaraknya tidak jauh dari lapangan serta gedung kantin sekolah. Aku duduk dan baru akan bersiap menyantap nasi dengan ayam goreng dalam kotak serofom yang kubeli tadi.

Tiba-tiba, Nora menghampiri dan duduk di sampingku. Ia membuka bekalnya tanpa melirik padaku, seolah sedang makan sendirian. "Jadi ingat waktu kelas dua dulu, Di," ujarnya tiba-tiba. "Duduk di bawah pohon ini. Makan siang bareng." Ia tertawa kecil. Aku hanya mendengarkannya sambil terus menyantap nasi dan ayam gorengku.

"Tapi ada yang beda sekarang, ya," lanjutnya. Aku mendongak dan mengerutkan kening dengan mulut yang masih penuh. Lalu, aku meliriknya dengan bingung. "Harusnya pohon ini yang menua di halaman sekolah, tapi malah kamu yang menua di hatiku."

UHUK, UHUK, UHUK...

Tiba-tiba saja, aku tersedak setelah mendengarnya. Makanan dalam mulutku keluar semua. Sementara, Nora tertawa sangat puas melihatku. Yang benar saja, gombal saat aku baru menyuap nasiku. Aku lantas meneguk minumku saat ia menyodorkan botol minumku.

"Kau lucu sekali!" katanya sambil masih tertawa. Aku lantas berhenti meneguk air minumku.

"Tapi serius, deh. Memang ada yang beda sama pohon ini. Tampaknya pohon ini lebih pendek dari yang dulu."

"Itu berarti pohon ini sudah tidak aman dipanjat juga," jawabku. Ia tertawa kecil.

"Nggak juga. Sepertinya masih aman dan cukup kokoh buat dipanjat. Tapi aku ragu pemandangan dari atas sana sama seperti pohon yang dulu kupanjat." Kami saling memandang satu sama lain dan dan mendongak ke atas bersamaan.

Caranya tersenyum, tatapan matanya, dan pipinya yang memerah saat kami bertatapan sesaat seolah menyadariku ada yang berbeda dari gelagatnya. Aku pun mulai bertanya-tanya, mungkinkah ia menyukaiku?


Cerita tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang