²|1.Atlas dan krisis besarnya

4.1K 530 17
                                    

:::::::::::::::

Sebagai anak tertua nomor dua, tentu Atlas punya tanggung jawab besar atas adik-adiknya bila Si Sulung tak ada. Dan selama 19 tahun 11 bulan hidupnya, Atlas merasa sudah menjalankan perannya dengan baik dalam membimbing (re: menjinakkan) Gio dan Jean (yang kalian tau sendiri seberapa beringasnya mereka).

Sampai kemudian dari Gio yang ia kira adalah bungsu ternyata ada lagi yang lebih bungsu. Beban Atlas personilnya bertambah.

Satu-satunya hal yang ia syukuri hanyalah fakta bahwa si bungsu paling bungsu alias Pasha ini tak menyukai adu otot untuk menyelesaikan perkara (tolong jangan ingatkan Atlas kalau aslinya Pasha pernah hampir membunuh anak orang karena membuatnya kesal). Pasha itu cukup kalem dan gak banyak omong. Meski keras kepala tapi dia bisa dibujuk asal ngomong baik-baik.

“Atlas mati.”

“Apa..?”

“Lo tuli? Gue bilang At-las ma-ti. Dia tewas. Me-nge-nas-kan.”

Sekonyong-konyong tangan Atlas mendarat di kepala Pasha. Dengan mata melotot sangar dia tekan kuat kepala anak itu.

“Gue tau yang lo maksud pasti kelinci sialan itu. Tapi tetap aja gue kesal!”

Pasha hanya menatap dengan wajah lempengnya. Lalu setelah menghela nafas lelah, dia menceletuk dengan entengnya.

“Lo juga kalau organisasi melulu, ntar lagi pasti bakal mampu--akh! PAPA!”

Atlas menggetok kepalanya karena kepalang kesal. Sungguh tega.

“Disentil dikit teriak papa. Kalau mental kerupuk jangan sok-sokan ngomporin gue.”

“KDRT cih!”

Mendapat tatapan sinis adiknya Atlas hanya mencibir. Fokusnya kembali ia bawa pada laptop di pangkuannya. Proposal ini sudah cukup membuat gila, Pasha malah cari gara-gara. Tapi setidaknya stres Atlas cukup tersalurkan, haha….

“Mau kemana?”

Pasha bangkit dari duduknya. Gak mood lagi mandangin Atlas jadi budak universitas. Padahal dia sedang dalam masa berkabung karena Atlas (kelincinya) baru saja berpulang tadi pagi dengan tragis. Teganya Atlas bukannya menghibur malah dirinya dianiaya.

“Heh!”

“Nyari Gio.” Meski bete tapi dijawab juga. Dan tak butuh waktu lama sampai dia menyesal sudah meladeni Atlas.

Lagi-lagi mainnya pake otot. Baju Pasha ditarik sampai dia terduduk lagi dengan paksa.

“Diem aja napa sih? Lo itu kalau udah sama Gio ada aja ajaran gak bener yang lo serap dari dia saban hari.”

Pasha melengos. Meski dalam hati mengiyakan kalau Gio itu memang sesat. Tapi seru untuk ditiru.

“Yaudah, Jean aja.”

“Dapat ilham darimana kalau Jean itu lebih baik dari Gio?” Atlas memandang skeptis. “Gak ada, gak ada. Diem lo disini.”

Pasha menghela nafas. Beraaatt banget. Kelihatan menyerah adu argumen dengan Atlas. Membuat Atlas tersenyum puas dan merasa cukup tentram untuk melanjutkan pekerjaannya kembali.

Tapi, baru juga meleng lima detik Pasha sudah melesat secepat kilat meninggalkannya. Seandainya bocah itu tak sedang dalam masa hukuman dan Atlas tak disuruh mengawasinya, mana mau Atlas menahannya lama-lama. Udahlah resek, suka julid pula. Hiihh…

Namun, kalau sampai si bungsu bersatu dengan kombo biang onar (Jean dan Gio) dan berbuat aneh-aneh lagi seperti tempo hari, bisa-bisa Atlas digeprek sama bapaknya yang pilih kasih itu.

Just Say That!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang