TWENTY - Practical Thing

144 16 6
                                    

Alunan instrumen klasik memenuhi ruangan yang biasa Cassie gunakan untuk kelas balet. Keempat sisi dinding itu dilapisi cermin, seakan-akan gerakan sekecil apapun tidak akan luput dari penglihatan Mrs. Carlson—pelatih dansa kerajaan. Wanita itu berusia 60-an dengan perawakan ramping dan gesit. Meski begitu, ketika ia mencontohkan gerakan dansa yang paling dasar sekalipun, gerakannya begitu tajam dan tepat, seolah-olah ia telah melakukan gerakan itu sejak bayi.

Lena melengkungkan tangannya memeluk udara kosong, bergerak dengan tajam mengitari Mrs. Carlson. Sekilas ia menatap pantulannya di cermin. Mengenakan tanktop dan legging hitam membuatnya merasa seperti telanjang. Lekuk tubuhnya terlihat lebih menonjol. Awalnya ia sempat bersikukuh untuk berlatih menggunakan seragam kerjanya, namun Mrs. Carlson menolaknya mentah-mentah.

"Punggung, Miss Wyers." seru Mrs. Carlson di tengah ruangan.

Lena buru-buru menegakkan punggungnya yang sudah mulai lelah. Ini adalah dua jam terlama dalam hidupnya. Tangan-tangannya sudah mulai kebas, kakinya seperti terbakar dalam heels lancip setinggi 15 cm (yang diberikan Mrs. Carlson padanya saat wanita itu memasuki ruangan) dan punggungnya sudah pegal bukan main. Ia melirik kaca yang menampakkan hamparan langit hitam tanpa bulan dan bintang. Pasti menyenangkan dapat berada di luar ruangan saat ini, dengan angin sepoi yang membelai kulitnya yang mulai berkeringat, alih-alih berada di ruangan ini dengan Mrs. Carlson yang memperhatikannya dari segala penjuru.

"Berhenti. Sekarang berdansa denganku." ia berjalan tepat di hadapan Lena, "Pertama, kau dan pasanganmu harus saling membungkuk untuk memberi hormat."

Mrs. Carlson dan Lena saling membungkuk, kemudian wanita itu mendekat dan menggenggam tangan kanan Lena di satu sisi dan mengarahkan tangan kiri Lena di pundaknya.

"Angkat dagumu, Miss Wyers."

Lena melakukan apa yang diperintah. Matanya menatap langsung hidung lancip Mrs. Carlson sebelum wanita itu memimpin gerakan dengan anggun. Mereka berputar mengelilingi ruangan seperti 2 orang yang melayang-layang di udara.

"Sekarang aku ingin kau berputar dalam tiga, dua, satu..."

Mrs. Carlson meregangkan tangannya, mengarahkan Lena untuk melakukan putaran 360 derajat. Sial bagi Lena, dia kesulitan menyeimbangkan badan setelah berputar sehingga menginjak ujung kaki Mrs. Carlson. Wanita itu meringis seraya menatapnya tajam, membuat Lena mau tak mau segera menyelaraskan langkahnya dengan pasangan dansanya.

Pintu ruang balet terbuka perlahan, membuat Lena dan Mrs. Carlson menoleh dan pada akhirnya membungkuk kepada sosok berambut cokelat itu.

"Yang Mulia." seru keduanya bersamaan.

"Butuh bantuanku, Judith?" tanyanya seraya menutup pintu perlahan.

Mrs. Carlson tampak terkejut dengan bantuan itu, namun tidak menolak. Ben berjalan menyeberangi ruangan hingga berdiri di depan perempuan yang nampak sudah kehabisan nafas dan tenaga.

"Kau tampak seperti hampir mati." bisik Ben seraya tersenyum ke arah Lena, menunggu aba-aba Mrs. Carlson yang tengah bergerak ke pengeras suara untuk mengubah instrumen.

"Mungkin sebentar lagi." jawab Lena seraya terengah-engah. Peluh di dahinya merembes begitu deras.

"Akan kusiapkan peti matinya." Lesung pipitnya melesak di wajahnya, menampilkan sederetan gigi paling rapi yang pernah Lena saksikan.

Saat Mrs. Carlson mengganti instrumen pada stereo dengan tempo yang lebih cepat, Ben dengan sigap membungkuk dan langsung mendekat ke arah Lena. Ia menggenggam tangan Lena di satu sisi dan menempatkan tangan yang lain di punggung Lena.

"Santailah sedikit." ia berbisik. "Ikuti langkahku."

Berdansa dengan Ben terasa jauh berbeda dibanding dengan Mrs. Carlson. Rasanya familiar dan menyenangkan. Ia melakukannya dengan sangat luwes. Alih-alih berlatih, Ben terasa seperti mengajaknya bermain, mengingatkannya akan Lou yang selalu mengajaknya ke rumah pohon yang dibuat Dad saat mereka kecil.

the Troublemaker PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang