Pendahuluan

546 182 32
                                    

Selamat memasuki dunia fiksi. Semoga tidak tersesat.
Gunakan 🖤 untuk melindungi diri kalian.
Intinya, jangan sesat!
~~~

"Selamat malam, pemirsa! Anda bersama saya, Dewi Andini, dalam segmen bisnis hari ini. Kami memiliki berita menarik dari dunia korporasi. Sebuah pengumuman penting baru saja disampaikan oleh perusahaan induk terkemuka, Paramount Venture," ucap seorang wanita berambut sebahu yang duduk rapi sembari membelakangi sebuah layar monitor besar.

Setelah itu, layar televisi mulai menampilkan potongan video dari dua orang tak biasa yang tampil penuh karisma dengan jas mereka, di tempat dan waktu yang berbeda.

Kemudian tayangan berubah ke salah satu pria di video tadi. Tampak dalam televisi, kamera tak henti-hentinya menyoroti pria yang tengah duduk di balik meja panjang dan berbaris mikrofon di atasnya.

Narasi dari sang pembawa berita tadi menjadi suara latar di balik video pria yang menjadi fokus utama di sana. "Dalam konferensi pers yang diadakan di kantor pusat mereka, CEO Paramount Venture, Bapak Heru Adinata, sempat menyinggung harapannya untuk membangun kerja sama strategis dengan Ventura Hospitality, anak perusahaan dari Ventura Industries yang terkenal di sektor perhotelan dan pariwisata."

Dengan latar belakang logo megah Paramount Venture—Heru, pria yang disebut namanya tadi—berdiri dengan penuh percaya diri di hadapan para wartawan.
'Setelah peresmian beberapa proyek besar ini, kami sangat berharap untuk menjalin kemitraan dengan Ventura Hospitality dari Ventura Industries. Kami percaya bahwa sinergi antara keahlian kami di bidang konstruksi dan perkembangan pembangunan yang luar biasa dari VH akhir-akhir ini bisa menghasilkan inovasi besar di industri pariwisata,' ujarnya penuh percaya diri.

Narasi pembawa acara kembali menutupi suara lain dari video yang ditampilkan. "Paramount Construction, anak perusahaan Paramount Venture, telah dikenal dengan portofolio proyek infrastruktur besar yang mencakup gedung pencakar langit, jembatan, dan pusat perbelanjaan di negeri ini. Di sisi lain, Ventura Hospitality telah memimpin pasar perhotelan dengan jaringan hotel mewahnya yang tersebar di berbagai destinasi wisata terkemuka."

Lalu, kembali ditunjukkan saat Heru bicara lagi. 'Kerja sama ini bukan hanya tentang bisnis, tetapi juga tentang visi bersama untuk membangun masa depan yang lebih baik. Kami yakin bahwa proyek-proyek gabungan ini akan membawa manfaat besar bagi perekonomian dan industri pariwisata di negeri ini,' tambahnya dengan senyum optimis.

Suara wanita pembawa acara kembali terdengar. "Berita ini langsung mendapatkan respon positif dari berbagai kalangan. Salah satunya dari analis pasar, Business Review,  Arjuna Setiawan, yang berkomentar bahwa, ini adalah langkah cerdas dari kedua perusahaan, jika benar-benar bekerja sama. Dengan menggabungkan sumber daya dan keahlian mereka, kita bisa mengharapkan terciptanya destinasi wisata baru yang inovatif dan menarik."
Lalu wanita itu melanjutkan, "Sementara itu, reaksi dari Ventura Industries juga dinantikan. CEO VI, Benaya Danaraja, dalam pernyataan tertulisnya, tampaknya belum menyetujui secara langsung. Namun, tersirat bahwa ia menyambut baik inisiatif dari Paramount Venture. Di majalah terbarunya, ia berkata, 'Kami selalu terbuka untuk kolaborasi yang dapat membawa nilai tambah bagi industri dan masyarakat. Mungkin nanti perlu ada diskusi lebih dulu dengan Paramount Venture karena sepertinya ini suatu keputu—"

Layar televisi di sudut warnet yang sepi tiba-tiba dimatikan, membiarkan ruangan tenggelam dalam keheningan kecuali suara-suara permainan dari komputer-komputer yang masih aktif.

"Jangan sampai diterima," ucap pemuda berkacamata dan berkemeja biru muda yang baru saja mematikan televisi.

Terdengar suara tawa dari belakangnya. "Emang kenapa?" tanya seorang remaja laki-laki yang mengenakan kemeja dengan model dan warna yang sama, sambil meregangkan tubuhnya. Ia sedang duduk di depan salah satu komputer.

Pemuda berkacamata itu menoleh sambil tersenyum. "Paramount itu sombong. Nggak pantas ada kolaborasi."

"Iya, kah?" Tanggapan yang diberikan anak ini menunjukkan bahwa ia benar-benar tidak tertarik dengan pembahasan ini. Terlihat juga dari bagaimana ia menatap permainan di layar komputer dengan sangat serius, mengabaikan hal lain.

Pemuda yang tadi menonton acara televisi berbalik mendekati temannya itu dan melanjutkan, "Ventura yang memimpin, Paramount yang meniru, lalu datang Noble yang bermain licik."

"Hafal banget," ujar yang lain, masih fokus dengan apa yang ada di depannya.

"Iya, dong. Mimpiku dari dulu pengen kerja di salah satu anak perusahaan VI. Tapi, malah berakhir di sini, di warnet gila ini. Untung hari ini si gila nggak datang."

Anak itu terkekeh lalu menoleh pada teman kerjanya itu. "Jangan salah, Bang. Siapa tau, suatu saat warnet ini dibeli sama yang punya VI. Bang Gio berhasil dong, kerja di VI," katanya, mencoba menghibur. Ia tak lagi sibuk dengan permainan tadi, karena telah kalah.

Yang bernama Gio itu menggeleng pelan. "Nggak gitu juga, Rafa."

"Loh. Yang penting sama Ventura Industries, kan?"

Gio tetap menggeleng sambil membuka kemejanya. Ia sudah akan pulang. "Eh. Kamu jadinya daftar di mana?" tanya Gio mengganti topik pembicaraan.

Yang ditanya mengerjap sebentar sebelum menjawab, "SMA Manggala Pratama."

"Serius? Kamu beneran?" tanya Gio dengan sedikit kaget.

"Hm."

"Itu SMA pertamanya pendiri VI. Sekolah pertama yang dirikan sama kakeknya CEO sekarang. SD, SMP, sama SMA Mapra. Nggak seelit sekolahnya yang lain, tapi nggak kalah mahal," jelas Gio berapi-api.

"Oh." Rafa hanya menjawab singkat.

"Weh. Kamu punya uang?" tanya si pemuda berkacamata itu sedikit berbisik.

Rafa menerawang ke depan. "Punya. Tapi, selain itu, aku punya satu kepentingan. Jadi, aku bakal ke sana," kata Rafa dengan tekad.

"Kepentingan apa? Gila nih anak. Bunuh diri itu namanya," celetuk Gio dengan nada cemas.

"Ada, lah," jawab Rafa dengan santai.

"Oiya, aku baru ingat. Anaknya itu seum—"

"Pulang, Bang. Aku malas dengar cerita konglomerat lagi. Muak," potong Rafa dengan malas.

Gio tertawa lalu mengangguk mengerti. Ia kemudian beranjak dari sana, meninggalkan Rafa dengan komputer-komputer yang masih berderik, meninggalkan suasana warnet kembali dalam keheningan, hanya diisi dengan suara dari permainan komputer yang Rafa hidupkan lagi dan bergema di ruangan itu.

---

Halo, semuanya.
Ini cerita kedua saya.
Semoga suka.

Saranghaeyowr🖤

Kalvari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang