Bab 5 - Kotoran dan Rahasia Kotor

275 145 27
                                    

Selamat membaca, Guys!
Semoga tetap betah di sini dan tidak tersesat, ya.
Ingat jimat kita saat mulai merasa tersesat.
Yup, berikan saja 🖤.

~~~

Ruang tamu yang begitu luas itu menambah dingin di dalamnya. Tapi, Guntur benar-benar yakin, sebelum pria di depannya ini pulang, rumah tak sedingin ini. Apa lagi saat mereka telah berhadap-hadapan, Guntur merasakan tubuhnya sedikit menggigil. Ia juga agak pusing dan mual sehingga hanya bisa menunduk.

"Kenapa wajahmu?" tanya pria bertubuh tinggi itu di depannya sambil mengangkat dagu Guntur.

Guntur menatap jauh ke depan dan menelan ludah. Matanya mengerjap-ngerjap. "L-latihan tinju."

Mata pria itu memicing mendengar jawaban tersebut. "Saya nggak tau kamu sedang belajar tinju?" Ia mendorong dagu Guntur dengan kasar.

Guntur kembali menunduk menatap lantai marmer. Matanya lebih nyaman menatap benda mati tersebut daripada orang di depannya yang ia panggil Ayah. Di lantai hitam itu, banyak hal seolah tergambar di atasnya. Ia bisa melihat malapetaka yang akan menimpanya terputar di sana, seperti tayangan film di bioskop.
"Baru dua bulan, Ayah. Tadi ada sparring buat evaluasi," jawabnya dengan suara bergetar.

"Dan kalah?"

"Draw." Kebohongan demi kebohongan yang terus ia berikan seolah mendukung alur cerita yang terputar di lantai itu. Meskipun ia adalah sang pemeran utama, Guntur tak bisa mengubah alurnya.

"Full round?"

"Iya. Empat ronde karena pemula."

Mendengar itu, mata pria tersebut melebar sudah seperti monster. "Cuma empat ronde, tapi draw. Siapa lawanmu?"

Air mata Guntur akhirnya jatuh mengenai layar film di lantai. Tayangan itu terhenti dan ia baru sadar bahwa tubuhnya bergetar. Ayahnya tak suka itu. Sekuat tenaga ia menahan gemetar tubuhnya itu, tapi ia tak bisa menahan lidah untuk tak berkata, "A-Anandra."

"Anandra? Anandra Danaraja lagi?" tanya sang ayah dengan suara meninggi. Guntur yang menunduk hanya bisa mengangguk dan sebuah tamparan keras mendarat di pipinya yang masih kebas.
"Memalukan!"

Ah, ia melihat adegan itu tadi. Tapi, bukan itu yang terburuk. Ada yang lebih buruk yang akan datang. Ia tak tau akan seperti apa ia nanti saat menghadapi adegan itu. Andai ia punya kekuatan, ia pasti tak akan mengatakan hal-hal konyol pada ayahnya. Ia pasti takkan menjawab, "Dia lebih dulu latihan, Ayah."

Sungguh pengecut. Jika berkata jujur artinya mati, berkata bohong tak lebih dari menunda kematian.

"Nggak ada alasan. Atur duel kedua. Kamu harus menang."

Air mata Guntur menggenang di matanya. Ia menahan sekuat tenaga agar tak sampai jatuh. "Tapi, Ayah. A—" Entah kekuatan dari mana, Guntur coba mengubah alur yang sudah pasti.
Ia tak sadar bahwa bukan di situ seharusnya ia mengubah alur.

Ayahnya, melangkahkan kaki menjauhi. Langkahnya panjang dan terlihat penuh amarah.

Di sini seharusnya Guntur mengubah alur. Ia harusnya mencoba hal itu di adegan ini. Tapi, kakinya seolah dirantai agar tetap diam, menunggu makanannya datang.

Kalvari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang