Selamat membaca.
🖤~~~
Ruangan OSIS yang dingin itu diisi oleh orang yang mengklaim diri sebagai pemiliknya. Anandra. Pemuda itu duduk santai di sofa sambil membaca sebuah potongan berita di ponselnya. Sebelah tangannya memainkan cutter kecil.
Tiba-tiba pintu OSIS terbuka. Anandra segera menutup cutter dan memasukkan ke dalam saku celana. Ia juga buru-buru mematikan layar ponsel dan melihat ke arah pintu, menunggu siapa yang akan masuk. Ekspresinya mengeras, menunjukkan bahwa ia kesal dengan apa yang baru saja dilakukan oleh orang yang membuka pintu. Namun, begitu melihat siapa yang datang, ekspresinya berubah. Anandra tersenyum lebar pada orang itu.
Rafa yang datang. Ia menutup pintu yang dibukanya lalu berjalan ke arah Anandra sambil sedikit menunduk. Ada perban di kepalanya. Anandra yang sedang duduk bisa melihat sedikit wajah anak itu yang tampak pucat. Ia mengingat kembali kejadian tiga hari yang lalu di lapangan basket. Guntur benar-benar membuat Rafa kesakitan.
"Akhirnya kamu datang. Aku kangen, loh. Duduk!" ucapnya sambil tertawa pelan, mencoba bercanda.Rafa menggeleng pelan lalu merogoh saku celananya, mengeluarkan kunci motor dari sana. Ia meletakkannya di atas meja kaca, depan Anandra. "Udah kukembalikan motormu ke tempat semula."
Meskipun tak paham, Anandra tetap tersenyum. "Maksudnya?"
"Di jalan Pahlawan. Depan gedung keuangan," jelas Rafa lalu berjalan pergi.
Anandra tertawa lalu memanggil anak itu kembali, "Rafa! Tunggu bentar!"
Rafa yang telah memegang kenop pintu membalikkan badannya menghadap Anandra yang telah berdiri. "Aku bakal pindah dari sekolah ini."
Senyum Anandra luntur. "Hah? Gimana?" Ia berjalan mendekati Rafa yang berdiri di depan pintu itu. Mata tajam itu beradu dengan mata Rafa yang tampak begitu sendu. "Ulang. Aku nggak paham."
Rafa menggeleng dan menepuk pundak Anandra. "Aku akan berusaha sekuat tenaga biar nggak muncul di depan kamu, depan Guntur, Amor, dan semuanya. Teman-teman sekelasku, adikku sekali pun, nggak akan ada yang melihat aku lagi."
Anandra menunjukkan senyuman yang terpaksa. Bibirnya melengkung, tapi matanya menyalang pada Rafa. "Ah. Pasti efek terbentur. Ini semua gara-gara Guntur. Tenang aja. Kamu bisa balas dia. Aku memang menunggu kamu datang biar kita bisa bicarakan ini." Anandra menarik lengan Rafa. "Ayo, duduk dulu."
Rafa mendesis kesal dan melepaskan pegangan Anandra dengan kasar.
"Anjing, Anandra! Aku udah muak! Bisa gila tau, nggak, berurusan sama kalian!"Ketua OSIS itu berbalik padanya dan berkata pelan, "Jangan bercanda, Rafa. Kamu nggak bisa pindah. Kamu nggak bisa ke mana-mana."
"Kenapa? Karena kuasa keluargamu? Aku nggak takut. Aku bakal menghilang."
"Nggak bisa! Ada sesuatu yang mengikat kita semua, Rafael. Benang merah yang nggak kalian sadari. Kamu nggak bisa pergi."
Mata Rafa memerah dan berair. Ia tertawa keras dan mendongak. Ia mengusap mata berairnya itu dan berkata, "Wah! Udah gila. Mending mati aja."
"Bukan kamu yang menentukan kematian. Percaya atau nggak, kamu nggak bakal bisa pergi. Kalau kamu pergi, kamu akan tetap kembali dan berlutut di depanku, minta pertolongan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalvari [On Going]
Ficção AdolescenteKata orang, hidupnya sempurna. Tak ada halangan, tak ada kesusahan, dan tak ada perjuangan berat untuk memperjuangkan hidup itu. Ia pun penasaran, mengapa orang-orang berkata demikian. Suatu hari, ia menemukan bahwa banyak ketidakadilan terjadi di...