Anandra - 3

222 90 3
                                    

Hai, semuanya.
Kita masih di Bab Anandra.
Jangan bosan, ya.
Selamat membaca, Guys.
🖤
~~~

Di ruangan khusus pengajar itu, terdapat seorang siswa yang tengah fokus pada beberapa kertas di depannya. Ia duduk bersama seorang wanita dewasa yang bisa dipastikan adalah gurunya. Guru di sampingnya memasukkan beberapa barang ke dalam tas kemudian bangkit berdiri.
"Kalau gitu Ibu pergi dulu, ya."

Anandra—satu-satunya siswa di sana—mendongak dan mengangguk pada wanita tersebut. "Iya, Bu."

"Terima kasih banyak, Anandra."

"Sama-sama, Bu," balasnya.

Ibu guru itu pun pergi setelah berpamitan pada guru-guru lain yang dilewatinya. Anandra kembali berkutat pada kertas-kertas berisi jawaban siswa. Ia mengoreksi jawaban-jawaban itu. Beberapa saat ia fokus, mulai muncul samar-samar suara percakapan guru-guru di dekatnya. Mereka tak sadar dengan keberadaannya.

"Rafael. Dari kelas buangan, XI IPS⁶." Ia tak begitu peduli. Tapi, satu nama yang muncul setelah kalimat itu membuatnya tertarik. "Guntur nggak mau orang tuanya dipanggil. Padahal videonya udah tersebar. Dia minta ke semua orang biar nggak disebar lagi video itu. Ternyata dia bijak juga, ya."

Tangan Anandra berhenti bergerak. Ia benar-benar memfokuskan dirinya pada percakapan itu. Ia angkat kepalanya sedikit dan melihat ada tiga orang guru yang sedang berkumpul dan berbincang. Dua wanita dan satu pria. Yang berbicara adalah yang rambutnya disanggul.

"Nakal banget. Selalu datang sesuka hati, tidur di kelas, nggak ngerti apa yang diajarkan. Lihat caranya pake seragam aja langsung sakit kepala, saya. Udah ditegur, tapi nggak digubris. Sekarang malah mukul Guntur dengan brutal. Pukulan di leher itu bahaya banget, loh," sambung guru laki-laki.

Guru wanita berambut sebahu menggelengkan kepala. "Poinnya udah banyak. Saya dengar mau dikeluarkan sama kepala sekolah. Waktu baru masuk kan juga buat keributan. Dia menyalahkan sekolah atas penelantaran yang dibuat ibunya. Lah, sekolah tau apa? Ibunya itu baru bekerja tiga bulan t'rus tiba-tiba mengundurkan diri. Apa urusannya sama sekolah?"

Telinga Anandra benar-benar fokus mendengarkan hal itu. Matanya menatap menatap kosong sambil terus mendengarkan.

"Keluar aja, lah. Berandal kayak gitu nggak akan bisa diatur. Terserah mau jadi apa di luar sana. Padahal hidupnya susah, loh. Dia bayar uang sekolah aja mohon-mohon buat dicoret uang makan siangnya, biar dapat potongan." Ini suara wanita yang berbicara pertama tadi. Anandra menghafal suaranya dengan cepat karena ia yang berbicara paling banyak.

Yang berambut pendek menyahut, "Hah? Emang bisa?"

"Waktu itu mohon-mohon sama saya. Padahal  bukan saya yang mengurus siswa masuk. Katanya mau sekolah. Kelihatannya niat banget. Ya udah saya bantu rekomendasikan ke kepala sekolah biar diberi keringanan dan akhirnya diterima. Tau-taunya berandal. Baru masuk aja buat masalah seperti yang dibilang Bu Priska sendiri. Sekarang saya yang malu." Ini suara guru yang rambutnya disanggul. Anandra tak suka mendengarnya. Rasanya seperti akan muntah jika mendengar lebih lama.

Bunyi kursi berderit kencang memaksakan keheningan untuk segera mengisi ruangan itu. Anandra berdiri tiba-tiba. Membuat ketiga guru itu kaget setengah mati. Guru-guru yang lain bersikap seperti biasa. Seolah tak ada kejadian apa pun di dalam sana.

Anandra meraih semua kertas di meja itu dan berjalan ke arah tiga orang yang mematung.  Dengan senyuman khasnya, ia menatap ketiga orang dewasa di depannya tersebut.
"Eh … ada ketua OSIS? Sejak kapan di sini?" tanya guru berambut sebahu dengan gugup sambil tersenyum canggung. Priska namanya.

Kalvari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang