🥀Home 2🥀

48 9 45
                                    

"Memangnya enak ya dipaksa mengalah terus, dianggap tak penting, dan dicap sudah bisa mandiri padahal tetap butuh peran orang tua?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Memangnya enak ya dipaksa mengalah terus, dianggap tak penting, dan dicap sudah bisa mandiri padahal tetap butuh peran orang tua?"

🥀🥀🥀


FAY MEMANDANGI PINTU rumah yang tertutup rapat lantas menghela napas berat. Matahari telah beranjak turun, menyebarkan sinar yang tak terlalu membakar. Namun, tubuhnya banjir oleh keringat, mukanya juga merah padam. Napas cewek itu putus-putus, jantungnya berdebar kancang.

"Asalamualaikum." Dia mengucap salam dengan ragu.

Pintu masih tertutup rapat.

"Asalamualaikum," ulang Fay, berharap pintu bercat cokelat itu segera terbuka. Kerongkongannya terasa menyiksa karena sudah sejak tadi kekeringan.

Namun, lima menit mengucap salam, pintu tak kunjung terbuka. Azan Ashar berkumandang. Fay menghela napas. Kakinya pedih dan berdarah. Karena sebelah sepatunya tak layak pakai, Fay terpaksa berjalan kaki. Angkot juga sudah tidak lewat. Mau naik ojek pun tak punya uang.

"Ass-"

"Bagus, baru pulang!" Pintu akhirnya terbuka, tetapi muncul Sari, ibunya, yang pasang wajah garang. Wanita yang tengah memomong bayi itu juga memelototinya dengan galak.

Fay langsung menunduk. Bukan takut, lebih karena enggan berurusan dengan ibunya.

"Baru pulang kamu? Masih ingat jalan pulang setelah main seharian, hah?" sembur Sari yang habis kesabaran. "Kenapa sih nasibku gini? Dapat anak gak berguna, ngerepotin terus kerjaannya, pembangkang!"

Mendengar itu, Fay hanya bisa menelan ludah pahit. Ini tahun kedua dia memaksakan kedua telinga dan hatinya kebal akan setiap kata yang terlontar dari mulut ibunya.

Dia hanya heran. Bukankah setiap kata yang terucap dari mulut seorang ibu adalah doa? Lalu, kenapa banyak ibu yang masih tak memperhatikan ucapannya terhadap anak-anak mereka? Terlebih sedang emosi begini, asal bicara, mengeluarkan semua unek-unek di hati tanpa memikirkan akibatnya.

"Aku gak main, Bu," sela Fay, berusaha memberanikan diri untuk melakukan pembelaan.

"Aku kehilangan sepatuku, jadi nyari dulu." Fay tetap bicara meski ibunya terus mencerocos. "Sebelah sepatuku masuk ke pembakaran sampah, aku ketinggalan angkot, aku pulang jalan kaki."

Cewek itu menjelaskan dengan acak, tentu saja sambil menahan sesak yang makin bergejolak merampas ketegaran hatinya.

"Halah, alasan! Mending hari ini kamu gak usah masuk ke rumah! Main aja sekalian sana, sampai puas!" amuk Sari. Lagi-lagi dia memelototi putrinya itu, seolah-olah melihatnya sebagai seonggok sampah.

"Nggak, Bu." Fay menggeleng, bingung harus menjawab apa lagi. Dia sudah malas memelas-melas begini karena akhirnya pasti nasibnya tetap mengenaskan.

"Ada apa sih, Ma, ribut-ribut?" Anto, papa tiri Fay, muncul dengan wajah mengantuk.

Aku Hanya Ingin Punya Rumah untuk Tempat Pulang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang