🥀Home 4🥀

33 9 34
                                    

"Kita berhak menerima orang baru, tetapi bukan berarti sembuh dari trauma itu perkara yang mudah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita berhak menerima orang baru, tetapi bukan berarti sembuh dari trauma itu perkara yang mudah."

🥀🥀🥀

"HAI!"

Fay tergemap dengan suara itu. Saat menoleh, dia menemukan cewek salah satu dari geng tadi tengah tersenyum lebar ke arahnya.

"Aku sama kamu, ya. Aku gak ada temen juga, nih," sambung cewek itu.

Saat menunduk, Fay menemukan name tag bertuliskan 'Disya Khairunnisa'.

Bukannya menjawab, Fay malah mengernyit dalam, sementara Disya sudah asyik menyimak Pak Yusuf yang sedang menjelaskan arahan tugas kelompok itu.

"Wah, ini mah gampang, tapi kita emang kurang orang," sambung Disya sambil angguk-angguk dengan wajah ceria.

Fay mengembuskan napas dan membuang pandangan. Padahal dia belum mengizinkan bahwa mereka boleh sekelompok. Lagi pula, bukannya tadi kelompok perempuan sudah pas? Lalu, saat Fay menoleh ke barisan cewek-cewek yang sudah duduk berkelompok, ada seorang cowok—yang tampak kesenangan—di antara mereka.

Sekarang Fay paham, sepertinya Disya memang sengaja mau sekelompok dengannya. Kenapa?

"Oh iya, kenalan yuk?" Disya beralih padanya, bikin Fay langsung kembali membuang pandangan, menghindari kontak mata dengan cewek beralis tebal rapi itu.

Canggung karena tak mendapat jawaban, Disya tak kehabisan kata-kata apalagi akal. "Aku Disya, Disya Khairunnisa." Dia mengulurkan tangan. Sejujurnya dia tak terlau berharap uluran tangannya ini akan mendapat balasan dari anak baru di depannya ini.

"Fay."

Namun, Disya dibuat terkejut tatkala Fay balas mengulurkan tangannya sambil mengatakan nama. Ternyata Fay tak seburuk gibahan teman-temannya meski memang kejadian tadi justru menambah kesan buruk cewek itu.

"Nanti ngerjain tugasnya mau di rumah kamu atau rumah aku?" tanya Disya,

Fay agak kesusahan untuk menjawabnya. Di rumahnya? Sudah jelas dia tak ingin menunjukkan keluarganya pada siapa pun. Di rumah teman? Apa ibunya akan memberinya izin untuk pergi?

"Entah," jawab Fay, pelan dan dingin.

Jawaban itu mengakhiri diskusi antara mereka. Setidaknya untuk beberapa saat.

"Fay, boleh minta WhatsApp kamu?" tanya Disya di sela mencatat bahan ajar.

"Buat apa?" jawab Fay setelah sekian lama.

"Yaaa ... kalau pengin temenan kan harus kenalan dikit-dikit." Disya menjawab dengan polos.

Gerakan tangan Fay terhenti, mendadak hatinya tergelitik oleh sebuah rasa. Teman? Apa dia perlu peran itu di hidupnya yang apa-apa serba sendiri ini?

"Gak perlu ...."

Jawaban Fay menggantung.

"Maksudnya?" Disya mengernyit bingung.

"Gak perlu berteman. Itu hubungan yang sia-sia."

***

Fay tiba lima menit lebih awal hari ini. Saat turun dari angkot, cewek itu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekaligus. Tangannya mencopot jarum pentul yang menusuk area jilbab di sekitar leher, menghadirkan tiupan angin sejuk yang menyapa lehernya.

Saat menutup kembali pagar rumah, ternyata ada sebuah Avanza hitam yang terparkir di depan rumahnya. Banyak sepatu baru juga yang memenuhi karpet Welcome. Ada keramaian yang samar juga terdengar dari dalam rumah.

Namun, Fay tak ambil pusing. Dia hanya melepas sandalnya dengan pelan—dia masih belum punya uang untuk beli sepatu baru dan beruntungnya pihak sekolah tak memberi sangsi—kemudian berjalan melewati teras samping, menuju pintu belakang.

Ada Sari di sana, tetapi wanita itu hanya pasang tampang datar sambil sibuk menyiapkan beberapa gelas minuman.

"Jangan makan dulu, cucian numpuk tuh!" kata wanita itu sebelum membawa nampannya ke ruangan tamu.

Anak tiri pertamanya datang berkunjung dari Jogja. Tentu ada oleh-oleh menggiurkan yang dibawa pria itu. Jelas saja hatinya berbunga-bunga sekarang.

Fay hela napas, sudah terbiasa begini. Namun, yang mengganggu pikirannya sekarang jutsru dia belum mendapat pekerjaan sampingan. Bagaimanapun dia harus mencari uang secepatnya.

Waktu berlalu dengan cepat kalau kita punya setumpuk kesibukan. Begitulah yang dirasakan Fay. Cucian banyak membuatnya sedikit melupakan pikiran rumit yang mengganggu. Tak hanya mencuci baju, dia juga diharuskan mencuci piring, nyapu, ngepel, segala macam. Intinya, pekerjaan rumah di sini adalah tanggung jawab utamanya.

"Ini ponsel baru buat kamu, sesuai pesenan, hadiah buat turnamen yang waktu itu."

Secara tidak sengaja, Fay menguping suara kakak tiri tertuanya. Suara yang bernada kesenangan. Refleks tubuhnya merapat ke dinding, dengan tangan memeluk lap tangan.

Ternyata sedang ada acara bongkar kado di ruang tengah. Ada beberapa kotak dan paperbag beragam warna. Saudara-saudaranya tampak berkumpul dengan wajah-wajah ceria. Ibu dan ayahnya juga ada di sana.

Keluarga yang hangat. Namun, dia tersisihkan, tak dianggap, diabaikan. Dia bukan bagian dari keluarga ini.

"Ngapain bengong di situ?"

Fay tergemap saat kakak tertuanya tiba-tiba muncul di depannya. Pria tinggi yang berprofesi sebagai seorang tentara itu menatap galak padanya, lantas melenggang pergi. Pria itu berjalan ke kamar mandi.

"Kerja sana!" Sari juga muncul.

Fay otomatis bergerak ke wastafel dan lanjut mengeringkan perabotan yang telah dicuci. Sari masih di sana, sibuk memotong kue brownies dan menatanya di piring. Mencium aromanya, perut Fay terasa melilit. Dia belum makan.

"Habis ini masak, siapin menu yang enak. Di kulkas tuh ada banyak bahannya," tambah wanita itu. Hari ini dia pakai daster hijau motif daun janda bolong.

"Iya," jawab Fay.

Sari sibuk mengantarkan makanan dan camilan ringan ke ruang tengah, tanpa menawarkan sedikit pun pada Fay yang tengah kelaparan.

Di ruang tengah, saudara-saudaranya masih sibuk membuka hadiah yang diberikan kakak pertama mereka. Hanya Fay yang tidak mendapatkan hadiah satu pun. Fay berusaha abai dengan menyibukkan diri mengerjakan apa pun.

"Kasihan gak dapat," celetuk Kevin yang sengaja mau pamer.

Fay pura-pura tuli, sibuk menata piring.

"Makanya, jadi anak kesayangan, dong," sambung cowok itu.

Fay hanya buru-buru menyelesaikan pekerjaannya sambil terus mengendalikan emosinya. Namun, tentu itu bukan hal mudah, apalagi banyak kalimat yang tak seharusnya dia dengar. Ibunya juga bersikap sama saja, tak sedikit pun berusaha ada di posisinya.

Saat azan Magrib berkumandang, pekerjaan Fay baru saja selesai. Akhirnya dia bisa mandi dan beristirahat. Makan? Mana ada. Sari sudah mengusirnya terlebih dahulu.

Dalam keheningan malam yang dingin, Fay duduk merenung memandangi bulan sabit dari halaman belakang. Tiba-tiba air matanya mengalir begitu saja. Beragam pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya.

Kenapa dan kenapa. Kenapa hidupnya harus seperti ini? 


🥀🥀🥀

Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻

Aku Hanya Ingin Punya Rumah untuk Tempat Pulang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang