"Menyendiri kadang diperlukan, terlebih ketika tak ada yang bisa mengerti keadaanmu sekarang padahal hidupmu tengah begitu berantakan."
🥀🥀🥀
FAY AKAN MEMINTA maaf pada Sila.
Bukannya apa, belakangan dia makin sadar bahwa tindakannya waktu itu memang salah. Terlebih Sila juga mengibarkan bendera permusuhan kepadanya, membuatnya beberapa kali merasa tidak nyaman.
"Fay, jadi pacarku, ya!"
Tiba-tiba seorang cowok berkepala pelontos muncul di hadapannya, mencegatnya yang baru saja sampai di ambang pintu kelas. Fay tidak terlalu kenal cowok ini, tetapi mereka sekelas. Tempat duduk cowok itu juga pindah-pindah, kadang di dekatnya, kadang di depan, kadang gabung sama cewek.
"Eh, jawab dong!" desak Ferdi begitu ucapannya tadi tak mendapat jawaban.
Cewek dengan tinggi 155 dan berat badan 45 kilogram di depannya ini malah diam membisu, menatapnya dengan tegas tetapi kosong.
Tak ada reaksi kaget, salah tingkah, malu, atau semacamnya di wajah mungil khas Japanese itu. Malah, Fay bergerak, mengambil langkah pertama tanpa mengubah ekspresi di wajahnya. Dengan mulus Fay menyelinap melewati tubuh tinggi Ferdi. Sontak, tindakannya membuat cowok itu merasa jengkel.
"Tunggu!" tahan Ferdi seraya menggenggam tangan kiri Fay. "Jawab dulu!"
Meski Ferdi sudah memasang ekspresi galak, Fay tak gentar sedikit pun. Cewek itu malah berupaya melepaskan tangannya dari genggaman Ferdi.
"Ck!" Ferdi berdecak sambil senyum miring. "Kerja sama dikit, bisa? Aku lagi kalah taruhan, hukumannya nembak kamu. Emangnya kamu pikir aku mau gitu nembak kamu? Gak ya! Aku gak ada rasa suka atau alasan kenapa aku harus suka cewek judes dan individualis kayak kamu." Cowok itu mencerocos tanpa kenal tempat.
Fay hendak menjawab, tetapi dia rasa tak perlu. Biarkan, biar anjing terus menggonggong, biar dia tahu rasanya tak dianggap.
"Heh, apa tadi?"
Orang ketiga muncul, Disya. Cewek tembam dengan kulit putih lembut itu menatap garang pada Ferdi, meski tindakan itu membuatnya harus mendongak sepenuhnya dan menjinjitkan kaki.
"Jahat banget mulut kamu!" sambung Disya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca dan memerah, pertanda hatinya sedang bergolak sekarang.
"Kan, cuma bercanda, Sya," kilah Ferdi sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Bercanda?" Disya menyatukan kedua alisnya dan maju lebih dekat dengan wajah Ferdi. Namun, Ferdi masih terlalu tinggi untuk diajak adu tatapan dalam kondisi normal.
Cowok itu dengan polosnya malah mengangguk.
"Lagian si Fay juga gak keliatan keberatan kali. Tuh, buktinya dia gak bereaksi apa pun." Ferdi membela diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Hanya Ingin Punya Rumah untuk Tempat Pulang
Novela Juvenil[JUARA #1 20 DAY WRITING ALLOPEDIA] 🥀🥀🥀 "Beberapa anak dilahirkan dengan begitu diinginkan, beberapa lagi dianggap sebagai sebuah kesialan sehingga banyak anak yang mengalami penderitaan tanpa peran orang tua atau justru karena orang tua." Fairy...