🥀Home 8🥀

26 4 44
                                    

"Kenangan indah itu lebih sering terasa menyakitkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenangan indah itu lebih sering terasa menyakitkan."

🥀🥀🥀


RUMAH YANG HANGAT, Fay tak pernah memikirkan suasana seperti itu sebelumnya, meski memang ada kenangan masa kecil yang justru selalu menyiksanya. Keluarga lengkap, hubungan yang harmonis, tawa yang bisa dengan mudah tercipta .... Hal-hal semacam itu justru membuat hatinya tambah campur aduk.

Ada rasa iri yang terus menggelitik, sementara kalimat-kalimat bernada protes terus tercipta, disuarakan pada Sang Pemilik Alam yang baginya sudah bersikap tak adil. Apa salahnya sampai harus melalui jalan hidup yang begitu terjal?

"Eh, maaf lama."

Disya muncul, membuyarkan lamunan Fay yang ditemani langit malam sendu di luaran sana. Fay otomatis bergeser dari jendela kamar, menghadap Disya yang baru saja kembali dari kamar mandi.

"Yuk, lanjut!" sambung cewek baik hati itu.

Fay tak banyak bicara, malah dia teramat menurut malam ini. Sesuai yang direncakan, usai makan malam, mereka akan mengerjakan tugas naskah drama Bahasa Indonesia. Karena kelompok mereka terdiri dari dua orang, otomatis mereka harus bekerja lebih keras. Apalagi tenggat waktu pengerjaan sudah hampir habis.

"Kamu ada ide nggak, mau ambil drama dari cerita rakyat yang mana?" tanya Disya yang hanya ditanggapi dengan gelengan.

Tugas yang diberikan Pak Yusuf adalah membuat drama dari cerita rakyat nusantara yang terkenal. Nantinya, selain disetor dalam bentuk tulisan, harus ada perwakilan maksimal tiga kelompok untuk praktik membacakan dialog di depan kelas.

Fay tidak pernah punya keberanian sedikit pun untuk dapat berbicara di depan umum, jadi sudah pasti kelompoknya tak akan mendapat tambahan nilai.

"Fay, kamu suka pelajaran apa, deh? Kalau aku sih suka banget sama pelajaran Bahasa Indonesia. Malah salah satu cita-citaku tuh pengin jadi novelis sekeren J.K Rowling." Disya mencerocos sambil menulis sesuatu di buku.

Belakangan, karena sudah sering berinteraksi—meski bukan dalam arti sesungguhnya—dengan Fay, Disya jadi bisa lebih hafal bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan cewek itu. Sulit sekali mendapat jawaban atau respons dari Fay hanya dengan satu kalimat, kecuali memang kalimat yang penting. Jadi, dia bertekad untuk lebih bawel saja.

"Terus ya, aku punya satu buku yang akhirnya bikin aku pengin jadi penulis," sambung Disya, terus berbicara meski lawan ngobrolnya belum memberi respons sedikit pun.

Tiba-tiba cewek itu bangkit berdiri dan berjalan dengan lutut di atas kasur. Dia mendekat pada rak mini berisi buku-buku beragam warna yang ada di dekat nakas. Tangannya menarik salah satu buku bersampul dominan hijau itu.

"Nih, Jurnalis Idola karya Rara Indah NN. Buku ini yang akhirnya bikin aku suka baca sejak tiga tahun lalu," jelas Disya sambil menyerahkan buku ke tangan Fay yang hanya diam membisu.

Aku Hanya Ingin Punya Rumah untuk Tempat Pulang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang