Rainy Day

66 8 2
                                    


Papa Chimon tidak pernah menyukai musim hujan.

"Kenapa?" Chimon bertanya, ujung-ujung jari tangannya memegangi pinggiran konter sedangkan kedua kakinya berjinjit, sebisa mungkin mengamati teh yang sedang diaduk oleh ayahnya dalam teko. Dia sudah mencicipi sedikit tadi; rasanya pedas.

"Papa punya sinusitis. Saat cuaca dingin, itu membuat kepala dan seluruh wajahnya sakit," jawab ayahnya. Chimon mendongak dan berganti memandang dagu lelaki dewasa itu. Ini adalah rahasia kecil milik Chimon, tetapi ayahnya punya bentuk tulang rahang yang sangat bagus dan enak untuk diraba ketika mereka pergi tidur. Sekarang, bagaimanapun, rahang itu tampak mengeras dan ketat.

"Sisitis?"

"Sinusitis. Benar."

"Chi juga punya?"

Gun menunduk dan tersenyum sekilas. "Puji Tuhan, tidak. Mungkin Chi memang dirancang untuk suka bermain hujan-hujanan di luar."

Mendengarnya, Chimon terkikik malu sekaligus puas. Kemarin hujan turun sesorean, dan papanya yang letih akhirnya mengizinkan Chimon keluar ke halaman belakang. Tidak ada yang menandingi pukulan air hujan di tempurung kepalanya, juga tantangan ketika tidak ada yang bisa dilihatnya di antara tetesan air yang deras. Ada jejak berbentuk telapak kakinya dari patio ke kamar mandi setelah dia disuruh masuk kembali, dan sampai papanya mengepel, dia memandang barisan jejak itu dengan kagum.

Teh rempah sudah selesai dibuat dan kemudian dituangkan ke mug hijau lumut. Chimon memaksa ingin mengantarkan pada si pasien, jadi Gun mengalasinya dengan nampan kecil beserta pengingat agar tetap hati-hati.

Saat menyeberangi ruang tengah, sekilas saja Chimon menatap ke pintu patio. Tampaknya hujan juga sudah bosan mengguyur; hanya ada sinar matahari yang membanjiri pekarangan belakang, dan sayup-sayup terdengar cericip burung yang sejak beberapa bulan lalu membuat sarang di atap.

Chimon tiba di kamar lalu meletakkan nampan di meja kerja tempat papanya terdiam di depan layar laptop. "Kenapa Papa tidak di tempat tidur?"

Tidak ada jawaban. Sedetik, dua detik. Chimon bahkan sudah selesai menghitung sampai lima dan papanya belum bergerak seperti sedang bermain petak umpet. Alhasil, Chimon harus berteriak sambil menarik lengannya keras-keras.

"Oh, wow! Kau mengejutkanku, Mon." Papanya terkekeh, suaranya sumbang. "Chimon membuat tehnya sendiri? Terima kasih banyak."

"Ayah yang membuat, Chi yang mengantar," koreksi Chimon, tetapi dia lega melihat papanya kembali bergerak menyesap teh panas. Belakangan ini papanya sering berhenti melakukan sesuatu untuk waktu yang lama. Terkadang Chimon bahkan harus menyipitkan mata untuk memastikan lelaki itu masih bernapas, dan bukannya berubah menjadi patung.

Puji Tuhan. Puji beribu Tuhan. Chimon senang sekali melihat papanya menyeruput teh kemudian bergumam keenakan.

"Apakah enak?"

Papanya meletakkan mug dan memeluk Chimon dengan satu lengan. "Luar biasa lezat. Terima kasih, jagoan."

Mata Chimon berbinar-binar. "Boleh Chi menggambar di latop? Satuu gambar saja."

"Kemarilah."

Dengan gembira Chimon memanjat ke pangkuan papanya, lalu meraih tetikus, tetapi melepaskannya lagi karena sang papa harus menggunakannya sebentar untuk membuka program yang dimaksud. Jarang-jarang Chimon diperkenankan menggambar di laptop yang senantiasa dipakai bekerja. Dia jadi bersyukur sudah meninggalkan kartun favorit demi membantu ayahnya membuat teh.

Off duduk bersandar ke kursi, memperhatikan Chimon yang condong ke depan dan mulai mengguratkan warna cokelat di lahan putih. "Mon mau gambar apa?"

"Burung!" cetus Chimon penuh semangat. "Ingat sarang burung yang kita temukan di atap? Mon ingin menggambar mereka."

Color Palette SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang