dinner for three

58 3 0
                                    

offgun, pluemchimon

.

.

Nanon menatapnya seolah dia badut dengan riasan wajah coreng moreng.

"Jangan menangis kalau kau dicampakkan nanti. Aku sudah memperingatkanmu."

Chimon mendelik kesal, tetapi sekadar memanggul tas tabung di sebelah pundak alih-alih menanggapinya. Nanon adalah ahlinya bersilat lidah. Jika Chimon memutuskan menjawab perkataannya—sesepele apa pun jawaban itu—Nanon akan menghantamkan sebelah tangan ke kosen pintu, mencegahnya pergi sekaligus mengajaknya berdebat.

Dia tidak punya waktu untuk itu. Pluem sudah menunggunya di dasar tangga.

"Kuharap kau mengingatnya!" seru Nanon sementara Chimon tergopoh-gopoh menuruni tangga depan galeri seni. "Oh, anak muda zaman sekarang! Jiwa-jiwa kesepian yang hanya tahu caranya mendambakan sentuhan fisik dan hubungan superfisial—"

"Maaf membuatmu menunggu lama, P'Pluem," kata Chimon keras-keras, menindih monolog sendu Nanon. Dia tidak ingin Pluem mendengar kata-kata vulgar yang cepat atau lambat pasti diucapkan oleh Nanon layaknya bom waktu. Pemuda itu membaca terlalu banyak buku dan, akibatnya, tahu terlalu banyak.

"Tidak apa-apa, aku juga baru tiba," kata Pluem menenangkan, kemudian mendongak ke lantai dua, tempat Nanon masih bertengger pada birai. Dia bersiul pelan untuk menarik perhatiannya, melambaikan sebelah tangan sambil tersenyum lebar. "Nanon, kan? Chi sering bercerita tentangmu. Senang akhirnya kita bisa bertemu."

Serta merta Nanon berhenti meratapi generasi masa depan. Dengan wajah merona dia beringsut mundur dan menutup pintu.

Chimon merengut. "Kapan aku bercerita tentang Nanon?"

"Kapan pun kau punya waktu," kata Pluem, nada bicaranya seperti papa Chimon manakala malas mengelaborasi. Mereka mulai bertolak dari galeri sekaligus kediaman Vihokratana yang temaram menuju jalanan yang masih ramai. Chimon selalu suka dapat menginjakkan kaki kembali ke kota yang semarak: semua warna dan suara itu membantunya bernapas lebih mudah, membuatnya merasa lebih hidup.

"Kau selalu pulang selarut ini? Sempat kukira aku tidak akan menemukanmu di sini karena pelajaran tambahanku berakhir lebih terlambat dari biasanya."

"Yah, ada banyak hal yang harus kupelajari. Lagi pula, gambarku masih belum layak untuk dilampirkan sebagai portofolio," gumam Chimon sambil memperhatikan kaki mereka yang berayun di atas trotoar. Dia melompat sedikit, menyamakan irama langkah mereka. Begini lebih baik.

"Kau benar-benar serius akan masuk SMA Internasional, huh?" Pluem mendesah, kemudian mendongak memandangi rangka beton jalan layang yang melintas di atas mereka. "Dan aku tidak akan bisa melihatmu lagi."

"Jangan mulai lagi, P'Pluem. Aku juga tidak suka mengingatnya," erang Chimon.

Pluem tertawa dan meraih ke pundak Chimon, mengambil tas tabungnya. "Apakah aku masih tidak boleh melihat isinya?"

"Suatu hari nanti," kata Chimon tegas. Dialah yang selalu menjejalkan hasil gambarnya ke wajah Pluem sejak mereka masing-masing masih kelas empat dan lima SD, tetapi, setelah mendapat teori yang semestinya, dia menyadari kemampuannya bukanlah apa-apa. Pluem pasti seorang malaikat karena tidak pernah mengeluh, apalagi mengejek hasil gambarnya.

"Kapan suatu hari itu?" Pluem berganti mencangklong tas tabung di pundaknya, lalu kembali mengulurkan tangan ke arah Chimon, meminta tas sekolahnya. "Besok?"

Chimon menggeleng, mendekap tas bukunya lebih erat sambil tersenyum lebar. "Bukan besok. Suatu hari nanti."

"Kalau begitu, besok lusa?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Color Palette SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang