Lei

80 14 0
                                    

Seseorang menangis tersedu-sedu di kejauhan, dan itu membuat Gun terjaga dari tidurnya yang baru berumur jagung. Dia menggeliat, meregangkan kedua lengan serta tungkainya, kemudian menggulingkan badan ke tepi ranjang untuk meraih jam weker dari nakas. Pukul satu siang. Apakah tangisan itu sekadar produk dari mimpinya yang campur aduk?

Gun menjatuhkan kembali kepalanya ke bantal, mengendapkan lapisan mimpi dan kenyataan yang masih berkelindan dalam benaknya. Dia mengerahkan indera-inderanya untuk menembus tabir tersebut: kesolidan jam weker dalam genggaman, selimut yang membelit tungkainya, wangi detergen dari cucian di halaman belakang yang terbawa angin sampai ke kamar ... dan seseorang tersedu.

Mata Gun terbuka lebar. Chimon. Jam weker terlempar ke lantai dan selimut terlucuti dari kaki, dia tergagap-gagap keluar dari kamar dan mendapati Off sedang memangku bocah berusia enam tahun itu di ruang tengah. Bocah yang sedang menangis sesenggukan di dadanya.

"Chi ...?" Gun menggantungkan pertanyaannya, tidak yakin apa yang mesti dia ucapkan. Seharusnya Chimon masih di rumah orang tua Off sampai nanti sore, itu yang pertama. Dan pertanyaan utamanya, tentu saja, apakah tangisan Chimon memang disebabkan oleh kejadian yang menimpa keluarga mereka.

Pandangan Gun beralih pada Off, yang meringis kecil dan mengangguk. Jantung Gun melesak, pundak-pundaknya seketika memerosot. Sekalipun mustahil terus menyembunyikan fakta bahwa kelinci piaraan Chimon meninggal selama bocah itu menginap di rumah neneknya, rasanya hal ini tetap patut disayangkan.

"P-padahal Mon pulang lebih cepat karena ingin menemui Snowball," isak Chimon sambil menggosokkan wajah ke kaus Polo Off. "Padahal Mon mau cerita banyak pada Snowball ..."

Lalu tangisnya meledak lagi. Off menimang-nimangnya, mengusap-usap rambutnya. Tanpa suara Gun duduk di samping mereka, ikut-ikutan mengusap punggung Chimon. Dia menyadari Chimon bahkan belum melepas tas selempang kecil berbentuk kelincinya; barangkali bocah itu langsung berlari ke kandang kelinci, hanya untuk mendapati penghuninya sudah tiada.

"Mon, Snowball kan sudah tidak sakit lagi surga," kata Off pelan. "Sekarang Snowball bisa berlarian bersama keluarganya di padang rumput yang luas, jauh lebih luas daripada halaman rumah kita."

"K-kenapa sih kita tidak punya halaman yang luas?" pekik Chimon, kedua kaki mungilnya menendang-nendang di sisi lutut Off. "Kenapa rumah kita harus kecil sekali? Snowball jadi tidak bisa lari-lari!"

"Biar kubuatkan susu hangat untuknya," bisik Gun sambil menepuk pundak Off.

"Kau baru tidur selama dua jam," gumam Off, keningnya berkerut, "kau yakin baik-baik saja?"

Gun sekadar mengedikkan pergelangan tangan sebagai gestur bahwa bukan itu yang penting sekarang, lalu beranjak berdiri. Meskipun dia sudah terjaga selama hampir dua puluh empat jam dan menghabiskan nyaris separuhnya berdiri di tengah-tengah dapur yang mirip area perang, tidak mungkin dia bisa tidur ketika putra kecil mereka berduka.

Dari dapur, dia masih bisa melihat bagaimana Chimon menumpahkan semua emosinya dalam dekapan Off; dua tangan terkadang mencakar, terkadang mengepal dan memukul. Isakannya adalah satu-satunya suara dalam Minggu siang yang anehnya hening ini, seakan-akan seluruh dunia memutuskan berbelasungkawa sejenak.

Sembari memasukkan rempah ke dalam teko, Gun mencoba mengingat-ingat bagaimana dia menghadapi berita kematian ketika masih seusia Chimon. Apakah dia pernah kehilangan hewan peliharaan? Atau mungkin kerabat dekat yang pernah main dengannya? Gun berusaha membuka pikirannya lebar-lebar, baik untuk kenangan baik maupun buruk, tetapi dia tidak bisa menemukan satu pun.

Sekali lagi dia memandang ke ruang tengah. Chimon telah memundurkan badan, tersedu-sedu, sementara Off menyeka pipinya yang basah. Ekspresi bocah itu sangat memprihatinkan, dengan mata berair serta hidung sembap, sampai-sampai Gun hampir saja berlari meninggalkan dapur untuk memeluknya erat-erat.

Color Palette SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang