Before You [2]

68 6 0
                                    

Content Warning: adegan seks eksplisit


Gun masih ingat momen ketika pertama kali bertemu dengan Off. Lelaki menarik dengan kemeja berkualitas bagus yang sama sekali tidak cocok berada di tengah-tengah konser, nyaris seperti anak alim yang sedang tersesat. Namun, apa lagi yang bisa dikatakan Gun, karena justru lelaki itu yang mengajaknya melipir untuk mencari makan sekaligus mendengarkan keluh kesahnya ketika dia amat membutuhkan kedua hal tersebut.

Senyum itu. Tatapan mata itu. Off Jumpol tidak dapat dikotakkan dalam kategori supel—dia amat tertutup dan cenderung kikuk—tetapi, demi Tuhan, senyum itu, tatapan mata itu. Gun akan selamanya tertarik ke dalamnya. Sebelum dia sendiri sadar, Off telah menjadi kutub baginya, gaya tak kasat mata yang mengarahkan jarum kompas Gun.

Sembilan tahun. Sungguhkah sudah selama itu mereka bersama? Bibir Off di atas miliknya masih berhasil membuat lutut Gun lemas, seakan-akan dia dikembalikan pada ciuman pertama mereka di bawah pencahayaan lampu jalan, tak jauh dari rumah Off.

Rumah Off ...

"Tunggu," Gun menarik diri sambil terkesiap keras. Di depannya, Off perlahan membuka mata kembali. "Chimon!"

Off menatapnya kebingungan.

"Chimon sudah janji kita harus videocall untuk memberikan cerita sebelum tidur, ingat? Pukul berapa sekarang?"

Rupanya belum pukul tujuh malam, dan Chimon tidak akan bersedia diminta naik ke kasurnya sebelum pukul sembilan. Gun mendesah keras sambil mengempaskan badan di sofa, masih terlalu terperdaya oleh panik untuk bisa mencegah pantatnya ditelan oleh busa sofa. Off menyusul duduk di sebelahnya setelah menyelesaikan telepon bersama Nyonya Adulkittiporn.

"Chimon sedang belajar bermain golf mini bersama Ayah. Kepitingnya bahkan belum selesai dipersiapkan. Mereka akan santap malam sebentar lagi." Off menoleh, tetapi Gun sengaja menguburkan wajah di telapak tangan agar lelaki itu tidak dapat melihatnya. "Gun, kau masih gugup denganku, bukan begitu?"

Gun mengerang keras. "Tidak."

"Tidak perlu malu, hanya ada kita berdua di sini," ledek Off, tetapi telapak tangannya di punggung Gun memberikan usapan yang menenangkan. "Kita punya semalaman, tidak ada yang perlu dilakukan secara buru-buru."

"Itulah masalahnya," desah Gun sambil menurunkan tangan dari wajah. Sejenak kemudian, dia beringsut agar dapat bersandar di pundak Off. "Aku terlalu terbiasa untuk buru-buru. Aku tidak ingat kapan terakhir kali bisa bersantai tanpa memikirkan hal berikutnya yang harus kulakukan."

Off berpikir sejenak. "Kau mau minum?"

"Bir?"

"Ya. Satu kaleng saja. Tunggu sebentar." Off bangkit untuk mengambil dua kaleng bir dari lemari es, lantas menyorongkan salah satunya kepada Gun. Senyum lelaki itu membutakan. "Setelahnya, kita bisa jalan-jalan di bawah. Aku sudah lama tidak melihat kehidupan malam di distrik hiburan seperti ini."

"Sepertinya kau sangat familier dengan kehidupan malam?" tanya Gun dengan mata memicing pura-pura curiga, tetapi kemudian ikut tersenyum ketika Off tertawa. Off pernah menceritakan kebiasaannya berkeliaran di distrik hiburan manakala bertengkar dengan orang tua, sekadar untuk melihat warna-warna dan mendengar beragam suara. Menenggelamkan masalahnya sendiri dengan degup kehidupan lain yang berisik.

"Dipikir lagi, itu sudah lama sekali," kata Off setelah kembali duduk merangkul Gun. "Tidak terasa aku sudah berada di jenjang kehidupan yang sama sekali berbeda."

Gun meneguk bir, lalu mendongak. "Mana yang lebih baik?"

"Kau masih harus bertanya?" Off menancapkan dasar kaleng ke dahi Gun, membuat yang lebih muda lekas mengaduh. "Aku tidak akan menukarkan kehidupan ini dengan apa pun. Semua masalahku di kantor dapat hilang segera setelah membuka pintu dan menemukan Chimon ... dan tentu saja pacarku yang punya gaji dua kali lipat dariku ini. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan masalahku lama-lama?"

Color Palette SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang