Written in the Stars

69 5 1
                                    

(AN: Latar waktu cerita ini jauh sebelum Chimon lahir.)


Seharusnya Off tahu lebih cepat bahwa menuruti Tay Tawan adalah ide buruk.

Dia mencondongkan badan ke telinga temannya, berupaya menembus gemuruh musik yang menggempur mereka dari berbagai sisi. Jantungnya ikut bergetar bersama dentum bas dan dia merasa asmanya dapat kambuh kapan saja. "Aku tidak bisa melakukan ini!" dia berteriak. "Kupikir lebih baik aku pulang."

"Ayolah, jangan jadi pecundang!" Tay balik berseru. Cahaya hijau-biru memualkan dari stik flurosens yang dilingkarkan di kepalanya membuat lelaki berkulit sawo matang itu terlihat seperti alien. Sebagaimana semua orang yang berbondong-bondong memenuhi gelanggang olahraga kampus mereka.

"Bukan soal jadi pecundang, ini—" Off menghela napas pasrah ketika, alih-alih mendengarkan argumennya, Tay menyeretnya semakin jauh ke pusat kerumunan. Tay dan dedikasinya untuk meleburkan Off ke kegiatan kampus sebelum mereka diwisuda bulan depan ini terkesan nyaris histeris. Bukan tanpa alasan selama empat tahun Off menghindari perkumpulan non-formal begini; dia harus menyeimbangkan waktu antara mempertahankan nilai serta menjadi tutor untuk anak-anak SMA.

Mereka terdesak oleh gelombang manusia yang berdenyut-denyut mengikuti tempo musik, bagaikan sel yang mengancam akan meledak, sehingga pada akhirnya mencapai sepertiga bagian depan kerumunan penonton. Dari sini, panggung terlihat menjulang begitu tinggi; sinar lampu sorot mengarah tanpa ampun pada vokalis band rock yang menjeritkan lirik tentang dendam pada mantan kekasih.

"Kau tentu tahu lagu ini," kata Tay di telinganya penuh semangat, sebelum ikut bernyanyi keras-keras. Sebenarnya Off tidak tahu.

Off bergeser menjauh dari Tay serta pelampiasan terhadap bangsat imajiner tersebut, tetapi sulit untuk berdiri tegak di tengah-tengah animo penonton. Alhasil, dia terdorong ke depan dan ke kiri, disikut juga diinjak. Off menengok kembali ke tempat Tay berada, tetapi dia tidak bisa melihat apa pun selain tangan-tangan yang terangkat serta profil-profil wajah yang kabur.

Oh, baiklah. Off sedikit merunduk dan berjalan semakin cepat menyisir celah-celah di antara penonton, bertekad mencari jalan keluar. Dia akan menghubungi Tay nanti bahwa mereka terpisah karena massa yang tidak terkendali (ini tidak bohong), lagi pula dia merasa tidak enak badan (ini agak bohong).

Semakin Off menjauh, rasanya semakin mudah untuk bernapas. Orang-orang yang memutuskan menonton dari jarak sejauh ini adalah mereka yang antara tidak peduli atau tidak memiliki jiwa bersaing tinggi. Orang-orang Off. Dia menegakkan badan, lalu melangkah lebar-lebar ke arah pintu keluar.

Udara di luar gelanggang olahraga justru lebih segar, dan selama sejenak Off berpikir betapa menyenangkan sekadar untuk bernapas bebas tanpa harus menghirup aroma manusia lain. Dia melambatkan langkah, kemudian mengedarkan pandangan ke seputar lapangan. Ada bazar yang dibuka di bagian luar gelanggang, meski kini tampak sepi karena sebagian besar pengunjung telah berkumpul di dalam.

Perut Off keroncongan. Dia belum makan malam ketika Tay mendobrak ke rumahnya, berkata bahwa mereka harus segera berangkat jika tidak ingin ketinggalan penampilan pembuka. Untuk sekali ini saja Off setuju dengan tatapan tidak setuju yang diam-diam dilayangkan ibunya kepada Tay.

Yah, adilnya orang tua Off tidak setuju dengan sebagian besar yang ada di dalam hidupnya. Pilihan studinya, preferensinya, cara bicaranya. Off tidak sabar untuk segera lulus dan mencari tempat tinggal sendiri. Gencatan senjata tidak bisa disebut sebagai gencatan senjata ketika salah satu pihak terus-menerus melayangkan pengingat pasif agresif mengenai kehormatan keluarga.

"Hei, tunggu!"

Seseorang menerjangnya kuat-kuat dari belakang hingga dia nyaris tersungkur. Off gelagapan, dengan panik berusaha melepaskan sepasang tangan yang memeluk perutnya, tetapi pegangan itu justru semakin erat.

Color Palette SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang