PROLOG

8 2 0
                                    

Buruh tani mahasiswa rakyat miskin kota.

Gema suara seluruh barisan mahasiswa terdengar hingga ke penjuru kota. Semua tangan teracung ke atas, menunjuk langit, seolah-olah mengingatkan ‘mereka’ tentang keberadaan sang penguasa. Atau mungkin juga mengingatkan bahwa keadilan haruslah dijunjung setinggi mungkin, setinggi angkasa.

Para Penguasa. Para Pengatur. Para Mulia.

Orang-orang itu adalah alasan mengapa kita disini. Alasan mengapa kita menyusuri jalan ini. Berteriak sampai kering pita suara kami, meneriakkan seruan agar keadilan segara dilakukan. Keadilan bagi saudara-saudara kami, teman-teman kami dan juga keluarga kami yang mati tanpa diadili.

Bersatu padu rebut demokrasi.

Berbagai macam tanda protes diperlihatkan, ditunjukkan setinggi mungkin agar orang-orang yang berada di tepi jalan tahu kelakuan bejat para penguasa itu. Perlakuan layaknya binatang. Tak tahu malu, tak tahu diri.

Culas. Itulah kata yang pantas bagi mereka.

Gegap gempita dalam satu suara.

Berbagai macam umpatan, teriakan, bahkan tangisan terdengar. Berharap dan berdoa jika mereka disana dapat mendengar. Akan tetapi, kami juga sadar diri. Bahwa tidak semua suara kami akan didengarkan. Tidak semua raungan kami akan diperdulikan. Kami hanyalah rakyat miskin yang makan saja harus bersujud di depan pemimpin kami, tapi apakah kami tidak boleh untuk memperjuangkan keadilan bagi kami maupun keluarga kami sendiri?

Dimana keadilan yang mereka selalu gaungkan dalam dasar negara? Dimana rasa kemanusiaan yang selalu mereka jadikan alasan saat menghukum keparat-keparat negara yang mereka lindungi demi mereka sendiri? Dan dimana pula semua janji-janji mereka saat mereka memohon-mohon kepada kami untuk dijadikan sebagai wakil kami?

Oh Tuhan. Maafkan kami telah memberikan bajingan-bajingan tak tahu malu ini duduk di tahta yang kau berikan bagi kami. Maafkan kami.

Demi tugas suci yang mulia.

Dan tibalah kami di depan pintu gerbang yang tinggi itu. Dijaga oleh puluhan atau mungkin ratusan aparat keamanan dengan pakaian yang siap untuk melindungi mereka jika saja kami melakukan hal-hal yang mungkin bagi mereka akan sangat menganggu. Tongkat dan perisai. Itulah yang mereka bawa. Disiapkan sebagai pelindung dari kami. Dan juga disiapkan sebagai alat penyiksa bagi kami.

Kami salah. Kami selalu menjadi yang salah. Disaat seperti inilah mahasiswa akan dianggap dua hal. ‘Suara bagi rakyat’ dan juga ‘Segerombolan Lalat’. Kami menjadi suara bagi mereka yang dibungkam mulutnya. Kami menjadi telinga bagi mereka yang sepatah-katapun tidak dapat terdengar dari mulut mereka. Kami juga menjadi tangan dan kaki bagi mereka yang tidak bisa bergerak walaupun hanya untuk menadahkan tangan, meminta pangan, kepada mereka.

Dan kami juga menjadi tubuh bagi mereka yang hilang. Tubuh mereka yang tidak pulang. Mati sendirian.

Namun, berbeda bagi para aparat dengan wajah garang yang berbaris disana. Kami selalu bertanya-tanya dalam hati kami, apakah kami kawan bagi mereka? Ataukah kami adalah musuh bagi mereka? Kami sendiripun tidak tahu. Mereka akan menggunakan tongkat panjang itu jika kami melewati ‘batas’ yang ada. Namun juga terkadang mereka akan memeluk kami jika memang kami sudah mencapai ke ‘batas’ yang ada.

Kami tidak akan pernah tahu apa arti kami bagi mereka. Apakah mereka mendengar apa yang kami teriakan? Apakah mereka tahu apa yang kami tuntut? Entahlah.

Mereka selalu seperti itu. Para prajurit abu-abu, ujar kawan-kawanku.

MATI SATU GUGUR SERIBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang