1. ABHIANDRI

6 2 0
                                    

"Maaf ya, Ndri"

DOR!!!!

Mata Andri membelalak saat sebuah tubuh besar terhuyung di depannya. Tubuh yang sebenarnya dapat dikatakan sudah mati tanpa harus ada peluru yang menyasar di kepalanya. Siapa juga yang tidak mati jika hampir satu minggu hidup penuh siksaan? Tidak ada yang dapat bertahan. Kecuali Andri yang masih diberikan sedikit waktu oleh Tuhan untuk menyaksikan kawan-kawannya mati. Mungkin Tuhan sedang berbaik hati dengan Andri.


Atau mungkin juga Tuhan sedang menguji Andri dengan dosa-dosanya.


Jika itu benar, maka Andri akan bertanya kepada Tuhan? Apakah menjadi manusia yang meminta sebuah keadilan kepada penguasa menjadi sebuah dosa? Apakah dengan meminta para penguasa untuk bersikap adil dan bijaksana adalah sebuah kesalahan? Jika memang itu benar, maka siaplah Andri untuk mati hari ini.

"Mas Hendra, Mas!"

"Mas Hendra bangun! Mas, bangun!!" teriaknya panik sembari menggoyangkan tubuh besar itu yang mulai kaku. Darah merah pekat mulai menggenang. Andri tak peduli. Darah sudah menjadi teman setianya selama seminggu terakhir ini. Ia sudah terlalu awam dengan warna, bau dan rasa dari darah miliknya atau milik kawan-kawannya.

Andri tidak akan pernah takut dengan darah.

"Nggak perlu ditangisin kayak itu, wong sudah mati kok orangnya."

Kepala Andri mendongak. Semua perasaannya tercampur aduk. Marah, kesal, sedih, muak. Semuanya tercampur sudah.

"EMANG ANJING LU SEMUA!!!"


Sebuah tamparan melayang ke wajah Andri, menambah memar dan luka disana. Tidak hanya itu saja, beberapa tendangan juga diterima oleh Andri. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Andri berbaring, memeluk tubuh besar kaku di dekatnya sembari menahan semua sakit yang terasa. Sesekali Andri berbisik kepada tubuh itu, "Mas, yang sabar ya, kita pasti keluar dari sini, Mas Hendra sabar dulu, ya".

Andri tahu tubuh itu tidak akan pernah mendengarkannya. Saat ia hidup ataupun saat ia mati. Ia tidak pernah mendengarkannya. Tubuh itu memang sedikit keras kepala saat ia hidup. Dan Andri mengakui itu.

Andri bertanya-tanya. Sudah berapa banyak tulangnya yang patah sekarang? Ia sudah kesusahan untuk bernafas, namun mereka tetap saja melayangkan tendangan ke tubuh Andri. Bahkan mereka juga masih saja menendang tubuh kaku itu. Mereka pikir tubuh itu hanya pura-pura mati saja. Pura-pura sudah diambil yang kuasa.

Mereka memang seperti itu. Tidak pernah tahu dan tidak pernah ingin mencari tahu. Asal omong, asal bicara, asalkan uang masih tetap jalan.

"Bocah-bocah gendeng!!"

"Dadi mahasiswa yo tugas e sinau, huduk ngurusi negoro!! Opo meneh ngurusi wong wus mati."

Tidak tahu. Andri tidak terlalu paham apa yang mereka bicarakan. Oh, resiko menempuh pendidikan jauh dari kampung halaman. Andaikan saja ada Mbak Senan atau Mas Winata disini, mungkin mereka akan senang hati menerjemahkan ucapan tadi.

Andaikan, andaikan saja.

Andaikan saja jika mereka tidaklah mati lebih dulu.

Atau mungkin, andaikan saja mereka tidak harus ikut campur mengurusi orang yang sudah mati.


MATI SATU GUGUR SERIBU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang