18. Menuju Satu Tempat

38 7 4
                                    

Nisa membuka matanya, terdiam beberapa lama mengamati langit- langit ruangan yang asing. Ia menarik nafas panjang, menyadari bahwa kehidupan damai di pondok itu tak mungkin lagi akan bisa ia jalani.

Semalaman kemarin mereka berjalan jauh menyusuri hutan, di tuntun oleh Visa dan Triever. Triever dengan penciuman dan pendengarannya, Visa dengan penglihatannya, memandu Nisa dan Bram keluar dari hutan dengan selamat.

Mereka tiba di sebuah pemukiman kecil yang ada di tepi hutan.
Dan memutuskan untuk bermalam di sebuah rumah terdekat.

Nisa tersenyum melihat Visa masih terlelap memeluknya: bahwa adiknya bisa senyaman ini tidur di luar. Semua karena keberadaan Triever dan Bram yang-

Tunggu.

Nisa memandang sekeliling ruangan. Bram dan Triever tak ada di situ. Padahal semalam Triever tidur bergelung di belakang Visa, dan Bram- semalaman tadi ia berjaga sambil membawa parang. Bram menemani Nisa mengobrol sambil menidurkan adiknya, bahkan sampai Nisa terlelap.

Tapi ke mana mereka?

Nisa beranjak bangun sepelan mungkin, tak ingin membangunkan adiknya. Lalu ia berjalan keluar dari kamar, menuju ruangan lain di rumah itu.

"Bram?" panggil Nisa setengah berbisik. Ia tak berani berteriak, karena ia masih belum tahu dengan medan di sekitar. Suara keras akan sangat menarik perhatian, baik infek maupun orang jahat. "Triever?"

Lengang. Tak ada jawaban.
Biasanya Triever selalu dengan riang menyalak jika mendengar namanya dipanggil.

Nisa berjalan mengitari semua ruangan di rumah kecil itu. "Bram? Triever?"

Masih sama. Hanya keheningan yang menjawabnya.

"Bram?" suara Nisa gemetaran.

Nisa berdiri di bingkai pintu depan, setengah termenung memandangi sekitar. Keadaan di sekeliling rumah itu juga sama lengangnya. Nisa mencengkeram bingkai pintu kayu itu kuat. Mata dan hidungnya terasa panas- karena menahan sesuatu dalam dirinya.

Aneh.

Dua tahun lamanya ia selalu tidur dan terbangun hanya berdua dengan Visa. Dan kali ini pun begitu. Tak ada yang berubah.
Tapi kenapa pagi ini ada yang berbeda?
Kenapa dadanya terasa sesak?
Apakah- keberadaan Bram sudah seberpengaruh itu bagi Nisa?

"..."

"..."

"GUK!!" suara gonggongan anjing terdengar dari kejauhan, sontak membuyarkan lamunan Nisa.

Gadis itu langsung menoleh ke arah suara.

Di mana terlihat Triever berlari kecil muncul dari dalam hutan, menggoyang ekor dan menjulurkan lidah penuh semangat. Di belakangnya, Bram berjalan santai mengikuti anjing nya.

"Pagi," ujar Bram sambil berjalan mendekat. Begitu ia berada di hadapan Nisa, Bram berhenti di tempat. Ia menyipitkan mata- memperhatikan wajah Nisa. "Kamu menangis?"

Nisa segera menyeka matanya, lalu berjongkok memeluk Triever yang melompat- lompat. "Nggak."

Ia menyembunyikan senyum lebarnya, penuh kelegaan, sambil berpura- pura mencium anjing itu. Lalu ia mendongak menatap Bram.
"Dari mana saja?" ujarnya sedikit ketus.

Bram mengernyit bingung, melihat ekspresi wajah Nisa yang seketika berubah. Namun ia tak terlalu ambil pusing. Bram merogoh kantong tas nya, lalu menyodorkan beberapa buah tomat di tangan.
"Buat sarapan."

Mata Nisa melebar saat menerima benda kesukaannya. "Kamu dapat dari mana?"

"Dari pondok," jawab Bram sambil menguap lebar. "Tadi subuh aku sama Triever ke sana."

INFEK (on going)Where stories live. Discover now