6. Keesokan Hari

32 7 0
                                    

Suara cuitan burung kecil terdengar riuh di luar, menandakan bahwa matahari telah meninggi. Namun lebatnya pepohonan hutan membuat pondok itu ternaungi dari terik. Suasana di dalam selalu terasa begitu sejuk.

"Nggg.." Nisa terbangun dengan kepala terasa pusing.
Ia mengerjap- ngerjapkan mata, masih setengah terbangun. Beberapa saat ia meringis, menyentuh bibir dan wajahnya yang terasa nyeri.

Nisa mendorong dirinya duduk sambil mengedar pandang, mengamati ruang berukuran sedang, yang penuh dengan barang- barang rongsok dan berantakan. Oh iya, kemarin malam ia menginap tidur bersama Visa di-

Tunggu!

Nisa sigap menoleh ke sebelahnya. Visa tidak ada di situ. Begitupun dengan si anjing, dan mahluk lucu bernama Triver itu.

"Visa?" Nisa beranjak dari tempatnya, menghambur menuju pintu pondok. Nisa berteriak memanggil adiknya. "VISA?"

Namun sekitar pondok itu terasa begitu tenang. Pepohonan besar yang rimbun di sekitar. Angin semilir membuat kemerisik daun. Nisa melangkah melintasi teras pondok, dan berjalan mengitari area itu- mencari sosok adiknya.

Sial!

Nisa teringat kembali bagaimana wajah lelaki brengsek bernama Bram itu saat melihat Visa pertama kali. Wajah Bram yang beringas saat memukuli Nisa itu seketika berubah terpana. Dan entah bagaimana, lelaki itu sangat baik dan perhatian kepada Visa.

Apa dia ada maksud tertentu kepada adiknya? Atau jangan- jangan..

Tidak mungkin!!

"VISAAA!!!" Nisa memanggil adiknya dengan kedua tangan menangkup di dekat mulut. Pikiran- pikiran aneh berkecamuk di dalam kepalanya. "VISAAA!!"

"Iya kak?"

Nisa menengok ke belakang, dan mendapati Visa berjalan keluar dari rerimbunan semak bersama Triever. Anjing keemasan itu memiringkan kepalanya melihat Nisa.

"Astaga, Visa!" Nisa segera menghampiri adiknya, memeriksa keadaan gadis itu seksama dari atas sampai bawah. "Kamu dari mana? Kenapa kamu tidak ada di pondok?"

Visa menunjuk ke arah belakangnya. "Tadi aku bareng Om Bram ke-"

"Om Bram?" Nisa terbelalak. Ia benar- benar emosi sekali. "Kan kakak sudah bilang! Jangan dekat- dekat sama orang gak dikenal! Apalagi si Bram itu! Dia itu orang enggak bener! Dia itu punya niat enggak baik sama kamu!"

Visa mengernyitkan wajahnya. "Niat enggak baik?"

"Dia itu pasti ada maksud tersembunyi sama kamu. Dia itu pedofi-" Nisa tak melanjutkan kalimatnya saat Bram berjalan keluar dari balik semak.

Lelaki itu berdiri di sebelah pohon, menatapnya remeh. Ia mengenakan jaket lapangan kusam, menyanding sebuah tas ransel besar di satu bahu. Di tangannya terhunus parang panjang. Di tambah kumis dan brewok tak terawat- membuat Nisa semakin yakin bahwa Bram adalah orang yang tidak beres.

"Kamu jangan sembarangan bawa adik orang tanpa ijin ya!" Nisa menyolot sambil menunjuk wajah Bram. "Kamu bawa ke mana dia? Bagaimana kalau ada apa- apa sama Visa?"

"Aku membetulkan pagar kawat yang kamu rusak kemarin saat menerobos ke wilayah orang tanpa ijin," jawab Bram santai sambil melirik ke arah perkakas di ransel nya.

Yang seketika membuat Nisa terdiam.

"Kamu membiarkan pagar itu terbuka begitu saja, membuat kemungkinan infek bisa masuk ke tempat ini," Bram melirik wajah Nisa yang menunduk. "Bagaimana jika semalam ada infek yang berkeliaran di sekitar pondok? Saat kamu dan adikmu tertidur?"

Nisa menggigit bibir saat Bram melewatinya menuju Visa dan Triver. "Sori."

Bram merendahkan dirinya, berbicara kepada Visa. Ia membuka ransel dan menunjukkan bagian dalam. "Nih, ada beberapa ekor tupai kena perangkapku di dekat pagar tadi. Kita bakar yuk? Kamu sudah lama tidak makan daging kan?"

Visa mengangguk- angguk cepat dengan wajah sumringah.

-----

Kretek! Kretek!

Derak api unggun menyala, membuat asap yang membumbung tinggi di sela- sela dedaunan hutan. Tupai- tupai itu ditancapkan di sekitar api untuk di asapi. Membuat dagingnya terpanaskan perlahan, namun matang sempurna. Menciptakan aroma khas daging panggang yang sudah lama tak Nisa cium.

"Visa, kamu harus makan sayur juga," ucap Bram disela makannya. Ia menyodorkan beberapa lembar sayuran hijau mentah kepada Visa, sambil memperlihatkan bahwa ia memakan sebagian.

Visa yang melihat itu, mencoba meniru Bram memakan sayuran hijau. Dan langsung memuntahkannya. "Puih! Enggak enak, Om!"

Bram terbahak melihat reaksi Visa. Tak lupa ia memberikan sebagian tupai panggang milik nya kepada Triever, yang langsung mengunyahnya dengan suara keras.

Nisa duduk di dekat Visa, memakan beberapa butir tomat dan sayuran hijau. Ia masih awas menatap Bram, mencoba menerka- nerka motif yang membuatnya sangat perhatian kepada Visa. Pasti ada sesuatu.

Pandangan Nisa beralih ke arah Triever yang masih nampak asyik mengunyah tupai seukuran kepalan tangan di mulut.

Entah kenapa, cara makan Triever membuat seolah- olah tupai panggang itu enak sekali.

Apalagi aroma nya yang begitu menggoda indera penciuman Nisa. Tanpa sadar ia menelan ludah.

Sialan.

"Kak Nisa nggak makan tupai nya?" tanya Visa keheranan melihat kakaknya tak menyentuh daging sama sekali. "Enak banget loh Kak."

"Eh? Iya. Aku nggak apa kok, ini aja-" Nisa gelagapan tiba- tiba mendapat pertanyaan seperti itu. Mana mungkin kan ia ikut makan daging dari hasil tangkapan Bram?

Bram kan orang jahat? Nisa harus tetap-

"Nih," Bram menyodorkan satu tusuk tupai ke arah Nisa. "Masih ada sisa satu."

"..."

Nisa memandangi Bram dan tupai di depan wajahnya bergantian. Emangnya dia pikir dengan tupai bakar ini bisa membuat Nisa lengah? Atau membuatnya berubah pikiran?

Walaupun aroma nya wangi, dan dagingnya yang terpanggang kering kemerahan itu terlihat sangat enak, Nisa tak akan mengendorkan kecurigaannya kepada Bram.

"Gak mau?" Bram dengan sengaja mendekatkan daging itu ke hidung Nisa. "Enak loh."

"..."

"..."

Ckk. Mau bagaimana lagi? Terpaksa kan Nisa harus menerimanya.

INFEK (on going)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora