L. New World

33 7 0
                                    

Darah segar pekat masih menetes- netes dari ujung dedaunan jagung. Membuat kilauan merah karena pantulan sinar matahari pagi.

-HOEEKK!!

Nisa bersimpuh di tanah ladang, memegangi perutnya yang terasa bergejolak. Mata dan tenggorokannya terasa panas, ia terus saja merasa mual tanpa ada apapun yang keluar dari mulut. Menyiksa sekali.

Kakinya terasa lunglai, bahkan untuk sekedar menopang dirinya sendiri.

Nisa memalingkan wajah, tak mampu menatap sisa- sisa papa dan mama yang berceceran di tanah. Ya, papa mama Nisa sudah tewas, tak utuh lagi. Tangan di sana, usus di sini, kepala dan lainnya entah di mana lagi.

Kerumunan manusia terinfeksi itu memangsa mereka hidup- hidup di kejadian semalam tadi.

Masih terngiang teriakan kesakitan mama dan papa saat Nisa dan Visa bersembunyi di dalam rumah kosong dekat ladang. Sementara Nisa menutup rapat- rapat telinga adiknya, ia hanya bisa memejamkan mata, terpaksa mendengar permintaan tolong orang tuanya tanpa bisa berbuat apa- apa.

Sisa- sisa api masih menyala di beberapa titik, membentuk asap hitam yang membumbung dari truk dan ranpur ANOA yang terguling. Jalanan aspal berwarna merah oleh kubangan darah- penuh potongan daging dan mayat bergelimpangan.

Di pagi hari begini, baru nyata terlihat kengerian dan kegilaan yang telah menimpa konvoi polisi itu. Tempat itu terasa lengang. Para manusia terinfeksi telah meninggalkan tempat itu- sebab sudah tak ada lagi mangsa yang bisa mereka temukan.

-HOEEKK!!

Nisa kembali hampir muntah. Ia segera merangkak menjauhi tempat pembantaian itu, tak mampu berjalan tegak. Kepalanya terasa pusing. Dadanya seperti di himpit tembok yang tak terlihat. Matanya buram karena air mata.

Astaga. Apa yang sudah ia lakukan? Kalau tahu begini mungkin lebih baik jika ia ikut mati bersama Papa Mama kan?

Sekarang ia harus bagaimana?

Nisa memandang di kejauhan, ke arah rumah kosong perkampungan depan. Tempat ia dan Visa bersembunyi menyelamatkan diri semalam.

Visa.

Masih ada Visa, adiknya yang baru berusia 10 tahun. Dan ia sedang sendirian di rumah kosong itu. Astaga!!

Nisa segera beranjak, susah payah memaksa kakinya yang lunglai untuk berlari menuju Visa. Tadi ia meninggalkan Visa yang masih terlelap di sana.

Sambil terisak, Nisa berlari memasuki rumah kecil berlantai tanah itu. Lalu melintasi ruang utama, menuju sebuah kamar di ujung lain.

"Visa!?" Nisa menyibak korden yang berfungsi sebagai pintu.

Visa berada di sana, masih berada di bawah meja tempat mereka tidur semalam. Adiknya duduk memeluk lutut sambil menangis, kebingungan karena saat ia terbangun sang kakak sudah tak ada di tempat.

"Ya ampun, Visa," Nisa bergegas mendekati adiknya.

"Papa? Mama?" tanya Visa di sela tangisnya.

Nisa hanya menggeleng, mengisyaratkan bahwa papa dan mama mereka sudah tak ada lagi. Cukup Nisa saja yang tahu seperti apa keadaan mereka- Visa tak boleh dan jangan sampai tahu.

Keduanya berpelukan sambil menangis beberapa lama. Kehilangan anggota keluarga- terlebih papa dan mama- tentunya adalah sebuah pukulan berat bagi mereka berdua. Terutama Visa yang masih berumur 10 tahun.

Nisa sebagai kakak, tentunya tak boleh berlarut- larut dalam kesedihan. Tempat ini masih sangat berbahaya, karena mahluk terinfeksi itu masih berkeliaran entah di mana.

Nisa berdiri sambil mengusap air matanya. Ia masih sesenggukan, namun sudah lumayan bisa menguasai diri. Ia meraih tangan Visa dan berujar dengan suara parau. "Ayo kita pergi."

Visa masih belum berhenti menangis. Ia menggenggam tangan kakaknya erat.

"..."

"..."

"Kita pergi dari sini," ulang Nisa. Kali ini nadanya lebih mirip perintah.

Dan Visa masih tetap tak bergeming. Ia masih meringkuk di bawah meja sambil menangis.

Baru Nisa menyadari, jika apa yang terjadi ini berat baginya- apalagi bagi adiknya?

Dengan penuh kelembutan, Nisa pun berjongkok dan menggendong Visa di punggungnya. Ia harus mengajak adiknya pergi dari sini.

Tapi ke mana?

Entahlah. Nisa tak tahu.

Ia hanya berjalan mengikuti langkahnya tanpa tujuan. Berjalan menyusuri rumah- rumah, persawahan dan bangunan lain. Ia terus melangkah, menggendong adiknya yang tampak termenung kosong.

Sepanjang jalan, Nisa mulai sadar bahwa kini semua orang juga bernasib sama dengan apa yang mereka alami.

Ratusan orang kehilangan anggota keluarga, tempat tinggal, harta benda dan lainnya dalam kekacauan kemarin. Kobaran api, puing- puing kaca, dan selongsong peluru.

Dan ratusan mayat entah siapa bergelimpangan di sekitar mereka.

Semuanya sama. Orang- orang yang ada juga sedang menangisi keluarga mereka. Mereka semua juga memiliki masalah sendiri. Mereka bahkan tak mempedulikan Nisa dan Visa yang melintas.

Inilah keadaan dunia sekarang. Bersama api dan kegilaan yang terjadi, kehidupan mereka semua hancur ikut membumbung bersama awan hitam ke langit pagi yang kelabu.

Nisa menarik nafas panjang walaupun dadanya terasa sesak.

Bagi Nisa, bagi Visa, dan bagi mereka semua yang selamat dari kejadian semalam;

Ini adalah dunia baru.

INFEK (on going)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ