2. Pagar dalam Hutan

48 11 2
                                    

"Hufft.." Nisa memandang langit yang mulai kemerahan. Matahari sudah condong ke arah Barat. Nampaknya mereka masuk terlalu dalam, dan sampai kini mereka belum juga menemukan jalan keluar dari hutan.

Mungkin dua- tiga jam lagi matahari akan terbenam.

Nisa menelan ludah. Mereka harus bergerak cepat. Setidaknya untuk menemukan dahan, atau tempat bagi mereka bersembunyi saat gelap nanti.

Malam hari adalah waktu yang berbahaya untuk berkeliaran di luar. Terlebih di dalam hutan seperti ini. Pepohonan dan semak menghalangi mereka untuk bergerak secara leluasa dalam kondisi darurat.

"Vis?" Nisa menoleh ke arah adiknya. Ia harus memastikan bahwa keadaan sekitarnya aman. "Kamu lihat sesuatu?"

Visa menyipitkan mata, mengedarkan pandangan. Gadis remaja itu memang memiliki penglihatan yang jauh lebih tajam dari Nisa.

"Nggak," Visa menggeleng mantap. "Nggak ada apa- apa di sekitar sini."

Nisa sedikit bernafas lega. Setidaknya ia bisa lebih rileks untuk melanjutkan perjalanan. Namun tetap saja ia harus menemukan tempat beristirahat. Ia dan adiknya sudah merasa sedikit kelelahan.

Nisa terus saja berjalan dengan Visa mengekor di belakangnya. Entah sudah berapa jauh dan lama mereka menelusuri hutan ini. Keduanya tak saling bicara, namun wajah mereka menunjukkan rasa letih dan bosan yang teramat.

Nisa sekali lagi mendongak untuk memastikan bahwa langit masih terang ketika tiba- tiba sang adik menepuk pundaknya.

"Kak!" Visa menunjuk ke arah jauh di depan. "Itu coba lihat!"

Nisa refleks menghentikan gerakannya. Pandangannya segera mengikuti arah jari si adik. Di depan sana, di antara semak- semak dan pepohonan.

"..."

"Itu-" Nisa menyipit. Ia melihat sesuatu yang tidak alami di antara lebat hijaunya hutan.

"-pagar kawat?"

Nisa dan Visa setengah berlari menuju ke arah pagar kawat itu. Benar.

Ini adalah pagar. Yang dibuat secara seadanya, dengan cara dipaku dan diikat ke pepohonan besar membentuk garis panjang tak beraturan. Mungkin pembuatan pagar ini dilakukan secara manual.

Nisa mencengkeram kawat itu dan mencoba untuk mendorong dan menarik nya.

Memang pagarnya tidak sempurna. Namun cukup kuat untuk menjalankan fungsi nya.

Nisa tak tahu kenapa ada pagar kawat jauh di dalam hutan seperti ini, atau siapa yang memasangnya. Atau apa yang ada di balik pagar ini.

Ia berjalan sepanjang pagar, mencoba mencari tahu. Lumayan luas juga untuk ukuran pagar yang dibuat ala kadarnya.

Lalu Nisa melihat di satu sudut, ada bagian di mana pagar kawat itu sedikit mengaga karena permukaan tanah yang tak rata.

Nisa menarik keluar sebuah belati eiger dari kantong flanelnya. Lalu ia berjongkok, mencoba mengait lepas paku yang menahan pagar kawat itu.

"Kakak mau ngapain?" Visa membungkuk memperhatikan Nisa.

"Sedari tadi kita belum keluar dari hutan ini," Nisa menggigit bibir, fokus dengan apa yang ia lakukan. "Jika ada pagar, pasti ada sesuatu nya kan? Setidaknya itu lebih baik ketimbang kita berputar- putar sampai malam di sini."

"..."

Berhasil. Nisa berhasil mencongkel lepas satu paku di pohon. Lalu ia berdiri, dan dengan sekuat tenaga, menjejakkan kakinya ke kawat yang sudah mengaga.

"Oke!" seru Nisa tersenyum melihat hasil karyanya. Lalu tanpa menunggu lama, keduanya merangkak menerobos pagar kawat itu.

Nisa kembali mendongak ke langit. Mungkin sekarang sudah jam empat atau sekitar itu. Langit masih terang, namun di dalam hutan ini tentu saja semuanya terasa lebih gelap.

"Kita jalan agak cepat," ajak Nisa. "Kita nggak boleh kejebak malam di sini."

Visa mengangguk.

Keduanya berjalan bergegas menyusuri area hutan. Menjauh dari area pagar di belakang mereka.

Lalu mereka pun tiba di sebuah area di mana pepohonan mulai sedikit jarang. Seperti area terbuka di wilayah hutan.

Nisa mengamati sekitar, lalu mendadak tangannya terentang menghalangi jalan adiknya. Ia diam sejenak mencoba memastikan.

"Kamu lihat itu?"

Visa menajamkan mata ke sekeliling, menciba untuk melihat pergerakan, atau apapun yang tak alami. Namun ia tak menemukan sesuatu yang aneh. Hanya ada semak dan pepohonan yang tak bergeming.

"Emang ada apa?" Visa bertanya balik.

Nisa mencibir ke arah Visa. "Masa kamu ga sadar sih?"

Ia berjalan menuju satu sudut di area lapang itu. Di mana terdapat rimbunan dedaunan rendah yang sepeti semak lebat.

"Ini memang agak gak kerawat, namun ini tidak tumbuh secara alami," Nisa berjongkok di dekat rimbunan semak itu. Secara sekilas memang tidak terlihat, namun jika diamati lebih cermat, dedaunan itu tumbuh secara teratur. Membentuk barisan seperti bedengan yang terpetak- petak berkelompok.

"Sepertinya ini tanaman pangan."

Visa ikur mendekat dan berjongkok di sebelah Nisa. Anak itu memang tak pernah melihat kebun atau sawah sebelumnya. Ia masih tak paham maksud Nisa.

Nisa mencengekram sebagian daun semak menjalar itu lalu menariknya paksa. Dengan bantuan Visa, ia berhasil mencabut ambrol sesuatu dari dalam tanah. Dan benar dugaannya, itu adalah tanaman pangan.

"Ini ubi! Ini ubi!

Visa mengernyit kebingungan. "Terus?"

Nisa berdiri dan kembali mencermati area di sekelilingnya. Memang tersamar di antara semak dan tanaman liar. Namun banyak sekali tanaman pangan yang tumbuh di sekitar itu. Tomat, sawi, selada dan tanaman lain yang mudah tumbuh dengan minim perawatan.

"ASTAGA!" Nisa terbelalak girang.

Di tengah kondisi seperti ini, apa yang ia temukan jauh lebih berharga ketimbang menemukan harta karun. Dengan cepat ia berjalan menuju tanaman tomat beberapa meter darinya

Tanamannya tak terlalu lebat, dan buahnya masih hijau. Namun dengan jantung berdebar karena gembira, Nisa memetiknya.

Lalu menggigitnya. Ya tuhan. Segar sekali.

"Enak kak?" Visa membungkuk ikut memetik satu tomat dan memakannya. Wajahnya mengernyit dengan muka tak enak. "Asem!"

Nisa tersenyum melihat adiknya. Lalu Nisa kembali memetik melahap beberapa buah lagi. Berdiri di antara tanaman pangan seperti ini bagaikan berada di taman surga.

Ini jauh lebih baik dari semua macam makanan proses kalengan expired yang harus mereka makan untuk bertahan hidup selama dua tahun ini.

Makanan basi yang membuat lidahnya kebas seperti mati rasa.

Nisa terlalu sibuk dengan kebun kecil yang ia temukan, tatkala Visa berdiri diam dengan pandangan lekat ke arah belakangnya.

Nisa yang menyadari ada sesuatu, segera berbalik.

Dan lalu ia paham kenapa Visa terdiam.

Berdiri di balik pepohonan di tepi area itu.Sebuah pondok yang terbuat dari kayu. Pondok tua dengan cat hijau yang sudah kusam dan terkelupas di sana- sini .

Nisa dan Visa saling berpandangan.

Di tengah hutan. Dikelilingi pagar kawat. Dengan kebun tanaman pangan di dekatnya.

"..." Nisa menelan ludah.

Apa ada manusia yang tinggal di sini?

INFEK (on going)Onde histórias criam vida. Descubra agora