Bab. 24

5.2K 541 10
                                    

Tidak ada angin tidak ada hujan, tetapi rasa terkejutku seperti melebihi mendapatkan lotre sebesar satu milyar. Tetapi kalau dipikir-pikir, aku belum pernah mendapatkan lotre satu milyar, lha memenangkan satu rice cooker saja belum pernah, jadi aku tidak tahu bagaimana rasanya.

Hari sabtu, aku sedang bersiap untuk pergi ke rumah mertua. Maksudku mantan mertua. Ibunda Haris berulang tahun, dan ini kali pertama beliau mengundangku datang setelah aku dan Haris bercerai. Setelah aku gagal total mengarang cerita, membuat alasan untuk menghindar hadir di acara tersebut, hari ini aku menyerah. Lagipula tidak akan adil untuk Axel apabila aku menyabotase kesempatan dia untuk bertemu dengan Kakek dan Neneknya sendiri.

Aku sedang merapikan baju Axel. Kemeja putih dengan pantalon mini berwarna navy yang setelah aku pikir-pikir membuatnya terlihat seperti pelayan restoran, tetapi tampangnya yang sangat cute akan membuka kesempatan baginya untuk menerima banyak tip. Ponselku berdering riang, tanpa melihat nama yang tertera di layar aku menyambarnya, mengapit di antara leher dan pundak karena kedua tanganku sibuk memasangkan suspender ke celana Axel.

¨Halo.¨

¨Kamu masih di rumah? Aku jemput ke sana lima belas menit lagi.¨

Sekarang gantian aku yang merasa waktu seperti ter-suspend untuk beberapa saat. Berhenti. Ponsel yang sebelumnya terapit leher dan pundakku jatuh ke lantai, bunyi 'tak' ketika benda itu menyentuh lantai mencabutku dari alam diam.

¨Mas Haris?¨

Dia hanya menjawab dengan 'hmm' lalu menutup sambungan telepon. Aku memandang benda tak bernyawa itu dengan takjub. Kata kampret hampir keluar dari mulutku kalau Axel tidak berada dalam jarak dengar.

¨Papa, Ma?¨

Pandanganku berganti ke arah Axel, masih terlalu takjub untuk menjawab pertanyaannya.

¨Papa mau jemput kita, Ma?¨

Jemput. Haris akan datang ke sini menjemput kami, yang berarti aku akan melewatkan satu jam perjalanan ke Kelapa Gading berada satu ruang dengan Haris. Di sisi Haris, dengan jarak kurang dari satu meter. Bulu di kudukku meremang tanpa bantuan kehadiran Sundel Bolong. Saat ini aku berdoa kepada Tuhan, kepada polisi lalu lintas mudah-mudahan jalanan tidak macet.

¨Ya?¨ jawabku. Atau bertanya. Aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu sekarang Axel menatapku datar, aku mencari-cari ekspresi penuh semangat di sana karena dia akan bertemu dengan Papanya tetapi aku tidak berhasil menemukannya. ¨Axel nggak suka dijemput Papa?¨ Aku bertanya dengan hati-hati.

Axel memandang ujung sepatunya, mata mungilnya melompat ke arahku sebentar sebelum kembali mengamati sepasang sepatu berwarna gelap tersebut. ¨Aku nggak mau Papa marah-marah ke Mama.¨

Dadaku seperti terkena tinju. Aku tidak mau hal itu yang akan menjadi ingatan abadi tentang Papa dan Mamanya, tetapi sampai saat ini, sebesar apapun usahaku untuk selalu memberikan gambaran positif tentang Haris ke Axel, hal itu seperti sudah menjadi sesuatu yang permanen ke kepala Axel. Haris yang memarahiku.

Bibirku memasangkan sebuah senyum, tanganku meraih suspender, merapikannya di atas kemeja yang dikenakan Axel. ¨Papa nggak akan marah-marah, dia dateng buat jemput kita ke ulang tahun Eyang.¨

Saat ini aku sedang merapalkan doa-doa.

Itu beberapa jam lalu, diikuti dengan jam-jam berikutnya yang aku lewati dengan ketegangan. Haris yang akan menemukan seribu satu cara untuk meninggikan suara ketika berbicara denganku, tetapi itu tidak pernah terjadi. Sepanjang perjalanan yang hanya memakan waktu tiga puluh menit, dia lebih banyak berinteraksi dengan Axel. Kecanggungan yang sudah aku antisipasi ketika berada di rumah orang tua Haris juga tidak pernah terjadi. Semua mengalir dengan lancar dan damai. Tidak ada teriakan apalagi tetesan darah. Baiklah, yang ini terlalu berlebihan.

Mungkin Tuhan memang mendengarkan doa Emak-emak yang rajin bekerja.

Sekarang aku kembali duduk di sisi Haris di dalam mobil. Dia bersikeras untuk mengantarkan kami pulang. Hatiku terasa lebih ringan.

¨Axel di sekolah belajar apa?¨ Haris bertanya. Axel masih berumur tiga tahun ketika kami bercerai, dengan jarangnya pertemuan mereka, Haris tidak tahu menahu perkembangan Axel, apalagi menyangkut sekolah.

¨Axel sudah belajar baca, Pah. Sekarang, kadang Axel yang membaca bed time story untuk Mama.¨

Haris melirikku, aku menjawabnya dengan sebuah senyuman. Hatiku mengembang melihat Haris cukup antusias mendengarkan cerita Axel. Mungkin ini adalah awal. Bagi Axel. Bagi Haris, untuk menjalin kembali hubungan ayah - anak. Sesuatu yang sangat aku inginkan. Walaupun aku dan Haris tidak lagi berumah tangga, bukan berarti Axel harus kehilangan ayahnya.

¨Ada kegiatan olah raga nggak, Xel?¨

¨Ya ada, Papa. Axel berenang, dan oh ya ... Axel main bola loh, Pa.¨

¨Memang Axel bisa nendang bola?¨

¨Piece of cake,¨ kata Axel dari kursi belakang. Aku tertawa. Haris bahkan menyunggingkan senyum lebar. ¨Mama selalu nungguin Axel pas main bola. Om Bima bilang, dia bakalan lihat Axel main bola juga.¨

Badanku kaku.

¨Om Bima?¨ Nada suara Haris yang sebelumnya ringan kini berubah keras. Aku tidak berani melihat ke arahnya, tetapi dari sudut mata aku bisa melihat kedua tangannya yang mencengkeram kendali kemudi dengan kencang. ¨Memang siapa, Om Bima?¨

¨Om Bima temen Mama.¨

Aku harus mengalihkan topik pembicaraan ini, sebelum Haris meremukkan stir mobil. ¨Axel mau bilang ke Papa tentang puzzle 3D yang kamu buat?¨

Mata Axel berbinar. ¨O yah. Axel bikin 3D puzzle, Pah. London Bridge!¨

¨O ya?¨ suara Haris masih terdengar kaku.

¨Om Bima yang bantuin, soalnya susah bikin puzzlenya.¨

Mampus!

Sekarang aku bahkan bisa melihat asap mengepul dari kedua telinga Haris. Kenapa aku tidak ingat bahwa Axel mengerjakan puzzle itu dengan Bima? Seharusnya aku menjauhkan topik pembicaraan dari Bima, bukan malah mendekatkannya.

Si Pembeli CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang