Bab. 32

4.7K 521 18
                                    

Hancur.

Karir yang aku pupuk selama sekian tahun. Apa yang aku pikir semula sebagai titik awal sebuah harapan ternyata menjadi titik awal sebuah kegagalan. Yang lebih membuatku remuk adalah Axel dan masa depannya, menjadi penulis full time adalah sesuatu yang aku gadang-gadang supaya aku bisa memberikan porsi lebih banyak waktu untuk Axel, sekarang semuanya lenyap, seperti asap yang perlahan-lahan menghilang tertiup deru angin.

Dari tulisan online masih memberikan penghasilan, walaupun aku tidak menunjukkan siapa jati diri dibalik nama Helius. Orang tidak boleh mengetahui Helius, karena Helius adalah fantasi, sekeping mimpi dari manusia bernama Aruna.

Aku masih mempunyai pekerjaan paruh waktu, untuk sementara aku bisa mengandalkan gaji dari situ sampai aku menemukan jalan lain untuk menambah dana supaya roda finansial tetap berputar.

¨Hey,¨ Bima meletakkan tangannya di pundakku. Dia baru saja membuatkan sarapan untuk Axel, sementara aku linglung seperti orang kehilangan arah. Aku menelpon PR production house, dia mengatakan bahwa 'berita' ini tidak akan memberikan tendensi baik terhadap penjualan film yang baru saja akan dimulai. Aida adalah sosok influencer yang sangat populer, setiap perkataan dan tulisannya seperti menjadi pedoman dua juta manusia yang setia mengikutinya. Film ini sudah selesai bahkan sebelum mulai ditayangkan.

¨I am sorry,¨ kata Bima. ¨Aku nggak tau Aida bakalan bisa berbuat seperti ini.¨

Orang yang gelap mata karena ditinggal pacarnya untuk wanita lain bisa berbuat banyak hal. Aku ingin memaksakan sebuah senyum, tetapi bibirku seolah tidak ingin digerakkan, yang mampu aku lakukan hanya menepuk lemah tangan Bima.

¨Lebih baik aku pulang.¨

¨Sekarang? Noo. Kamu mau ngapain kalau pulang?¨

Aku membuang napas dengan berat, yang saat ini aku butuhkan ... aku tidak tahu apa yang saat ini aku butuhkan.

¨Aku nggak mau pulang, Ma. Aku mau berenang sama Om Bima.¨ Mata kami berdua beralih ke arah Axel, dia sedang mengunyah roti dengan taburan hagelslag coklat.

¨Stay here. Aku nggak mau kamu sendirian disaat seperti ini.¨

¨Emang ini saat seperti apa sih, Om Bima?¨ Pertanyaan Axel yang polos mau tidak mau membuat bibirku sedikit mengembang. ¨Mama kelihatan sedih. Do you need a big hug, Mama?¨

Walaupun baru berumur lima tahun Axel selalu tahu mood yang aku rasakan. ¨Yes, Mama needs a big hug sayang.¨ Dia turun dari kursinya, berjalan ke arahku dengan kedua tangan mengembang, aku meraihnya ke dalam pangkuanku, kedua tangan kecilnya berkalung di leherku, dia mencium pipiku berkali-kali.

¨Mama jangan sedih, ada Axel. I will protect you, ok, Mama.¨

Kedua pelupukku memanas, aku mengangguk sambil mendekap Axel semakin erat. Kamu memang akan selalu menjadi pelindung Mama, sayang, we will get through this. Demi kamu. Aku berjanji di dalam hati.

Bima bergabung dengan pelukan kami, bibirnya mengecup puncak kepalaku, remasan tangannya di lenganku seperti sebuah support yang saat ini ternyata sangat aku butuhkan.

***

It's bad. Bagaimana tidak, publikasi yang sensasional tentang diriku itu menghempaskan semua kerja keras tim marketing dan PR rumah produksiku. Kerja keras mereka lenyap oleh #PenulisPelakor.

Aku menjauhkan diri dari sosial media, mencoba fokus dengan diriku dan pekerjaanku. Bukan hal yang mudah ketika pekerjaanku berhubungan dengan hal kreatif dan momen-momen saat ini seperti membunuh sisi kreatif dalam diriku.

Di luar rumah keadaan tidak lebih baik, #PenulisPelakor bahkan sudah sampai ke sekolah Axel, aku bisa merasakan tatapan miring yang selalu diikuti dengan bisik-bisik setiap kali aku mengantar dan menjemput Axel ke sekolah.

Si Pembeli CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang