Bab. 2

8.7K 686 11
                                    

Aku mencintai Haris, kalau tidak, aku tidak akan mengiyakan ketika dia akhirnya melamarku. Keluarga kami sudah tahu satu dengan yang lainnya, orang tuaku sangat mengidolakan Haris, Ibu bahkan bolak-balik berkata bahwa Haris adalah calon menantu idaman. Keluarga Haris mempunyai bisnis yang cukup sukses, bisnis yang pada akhirnya akan diwariskan ke anak lelaki mereka satu-satunya. Masa depan Haris seperti sudah tertata mulus di depannya. Masa depan yang aku pikir juga akan menjadi masa depanku.

Kami menikah tidak lama setelah aku lulus kuliah, menyetujui perkataan kedua orang tua kami 'tunggu apa lagi,' kita berdua saling mencintai. Paling tidak itu yang dulu aku percayai.

Ketika kami berpacaran, berciuman bukanlah hal aneh, bahkan tangan Haris sering bergerilya ke mana-mana, tetapi satu hal tetap aku jaga, untuk tidak berhubungan seks dan Haris tidak pernah meminta lebih dari yang aku berikan. Semuanya aku jaga seperti permata berharga yang akan kami buka bersama-sama ketika harinya sudah tiba.

Walaupun tidak pernah melakukan seks, bukan berarti aku buta. Kenikmatan buah dari dua orang yang memadu cinta dengan orgasme menjadi puncaknya, jujur aku sangat menantikan waktu di mana kami berdua akan bisa melakukannya. Bercinta. Orgasme. Sampai ketika waktunya benar-benar tiba, aku dan Haris berdua di kamar hotel setelah resepsi pernikahan kami. Aku masih ingat aku bukan menjadi satu-satunya orang yang canggung, Haris melangkah gugup mendekatiku, kami seperti menahan napas ketika tangan-tangan kami menanggalkan pakaian yang menutupi badan kami. Mata Haris memandangku ketika semua baju akhirnya terlepas dari tubuhku, tetapi tatap matanya bukan tatap memuja seperti yang sebelumnya aku kenal, ada asing di dua tatap mata itu. Lalu dia mendorong tubuhku ke tempat tidur, tidak ada ciuman mesra atau bisikan menggoda ketika dia memasukkan dirinya ke dalam tubuhku.

Bukan nikmat yang aku dapat, nikmat yang sudah sekian lama ingin sekali aku rasa, hanya ada sakit, semakin sakit, ketika dia menghentakkan tubuhnya di atasku berkali-kali. Aku ingin menangis, karena ini bukan malam pertama seperti yang aku impi-impikan, tetapi aku menahannya, mungkin karena ini yang pertama kali. Tetapi sakit itu selalu ada ketika kami berhubungan badan, kalau bukan sakit, aku tidak merasakan apapun sama sekali. Tidak ada nikmat apalagi puncak. Persatuan yang kami lakukan buatku seperti menjadi rutinitas, aku tidak pernah menginginkannya selain untuk memenuhi kebutuhan Haris. Seks menjadi hal yang aku benci.

¨Lo belum pernah dapet orgasme?¨ suara Jingga cukup keras, membuat penghuni meja di sebelah kami memalingkan wajah mereka.

¨Ssstt,¨ sergahku, melirik ke wajah-wajah penasaran dari orang-orang di sebelah kami. ¨Bisa dipelanin dikit suaranya.¨

¨Tunggu, Run. Aku nggak ngerti, maksud kamu, kamu jarang orgasme atau nggak pernah dapet orgasme sama sekali?¨

Great! Topik pembicaraan sekarang berubah menjadi Aruna dan orgasme.

¨Ganti topik sepertinya lebih menyenangkan,¨ usulku. Kedua sahabatku tidak menggubrisnya, mereka masih menanti penjelasan dariku. Aku mengeluarkan desah napas, meraih cangkir cappucino lalu menyeruput isinya, butuh lebih dari sekedar cappucino kalau aku harus menjelaskan kehidupan seks masa lalu ke kedua makhluk ini.

¨Gue nggak pernah dapet orgasme. Puas?¨ jawabku dengan menegakkan kepala, berharap kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku bisa menghentikan rasa penasaran Jingga dan Dewi, tetapi tentu saja tidak. Mimpi kalau aku pernah berpikir mereka akan berhenti mencecarku.

¨Lo, berhubungan seks kan, sama suami lo?¨

¨Mantan!¨ aku mengoreksi Jingga.

¨Iya, maksud gue itu.¨

¨Lo pikir, Axel hasil dari bayi tabung.¨

¨Nah, iya, ada Axel. Kok bisa kamu nggak pernah dapet orgasme?¨

Si Pembeli CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang