Love in Bali - 3

523 54 21
                                    



Eve memandangi hamparan langit serta pepohonan di luar sana. Jendela yang sedikit terbuka itu, membuat desau angin masuk dan meniupkan hawa sejuk di depan wajahnya. Ia ingat hari-hari sejuk lainnya ketika kedua orang tuanya masih berada di sisinya. Betapa sekarang hari-hari yang dulunya ia anggap biasa itu menjadi kenangan paling indah yang ia punya bersama mendiang orang tuanya.

Kini, omelan Mama tentang betapa malasnya ia merapikan pakaian di dalam lemari atau meletakkan kembali sepatu di raknya, terdengar begitu menyenangkan di telinga. Melihat Papa sibuk berhadapan dengan sederetan pekerjaan di depan laptop, adalah pemandangan yang tidak pernah terpikirkan olehnya, akan menjadi pemandangan yang amat dirindukannya.

Eve mengembuskan napas pelan. Di telinganya sudah terpasang earphone yang senantiasa memutarkan instrumental sedih untuknya. Tidak ada yang tahu bahwa musik yang selama ini ia dengarkan adalah sebuah instrumen sedih dari alat musik biola. Tidak ada yang tahu kecuali satu orang.

"Hai, nggak bosen dengerin instrumen terus? Nggak mau coba dengerin lagu metal?"

Ya. Satu orang itu adalah gadis di hadapannya ini. Si Murid Baru yang sudah satu bulan ini mengakrabkan diri dengannya. Kata-kata pedas dan sikap ketusnya tak mampu membuat gadis itu jera mendekatinya. Ia selalu kembali dan kembali lagi di manapun dirinya berada.

Namun, kegigihannya membuat Eve terkesan. Entah mengapa, sudut hatinya sudah mulai terbiasa dengan kehadiran gadis itu.

"Lo nggak capek gangguin gue terus? Emang nggak ada kegiatan lain yang bisa elo lakuin selain gangguin gue?

Si Murid Baru yang biasa dipanggil Fey itu, menggeleng. "Kegiatan gue adalah gangguin elo." Tak lupa senyum jahil terpampang di wajahnya.

Eve memutar bola matanya, lalu memalingkan wajahnya kembali keluar jendela. Biasanya Fey akan diam saja, membiarkannya menikmati waktu dengan dirinya sendiri dan ikut bergabung dalam kesunyian di sisinya. Namun kali ini gadis itu mengulurkan telapak tangannya di depan wajah Eve, membuatnya tersentak kaget.

"Apaan?" ketusnya,  memandang Fey dengan kerutan di kening.

"Pinjem HP lo."

"Buat apa?"

"Gue punya lagu buat elo dan gue pengen lo dengerin lagu itu." Fey mengedikkan bahu. "Daripada cuma dengerin instrumen doang, kan?"

Eve menggeleng dengan mata memicing. "Nggak mau."

"Please," mohon Fey. "Kalo lo nggak suka, tinggal lo ganti lagi."

Eve menatapnya lama, tampak menimbang-nimbang.

"Coba dulu dengerin, abis itu elo bebas mau dengerin instrumen musik sepanjang hidup lo."

Pada akhirnya, setelah menimbang-nimbang cukup lama dan beradu pandangan dengan Fey, Eve menyerahkan ponselnya pada teman sekelasnya itu. Fey tersenyum, lalu membuka sebuah aplikasi dan mengetikkan judul lagu di kolom pencariannya. Matanya berbinar saat berhasil menemukan lagu yang saat pertama kali didengarnya, langsung membuatnya teringat pada Evelyn.

"Nah, udah gue play. Silakan dengerin."

Sepanjang lagu diputar, Eve terhanyut ke dalam lirik yang dinyanyikan sang pemilik lagu. Alunan musik dan syair yang indah itu seolah ditulis dengan penuh cinta oleh penciptanya. Hatinya melunak seketika, tanpa sadar tetesan air mata turun membasahi wajah cantik berkulit pucat itu.

ANTOLOGI - Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang