Bagaikan petir di siang bolong katanya ketika kita mendengar kabar buruk yang bahkan tidak pernah kebayang di isi kepala kita. Itu yang terjadi pada lelaki muda yang tengah singgah di Negeri Sakura itu. Sekarang isi kepalanya penuh, hanya berputar berkali-kali jika saja dan jika saja dapat mengembalikan waktu. Penyesalan penuh yang dirasa memukul dadanya tepat sasaran. Berulang-berulang ia berpikir, bahkan sudah terhitung tepat hampir tujuh jam ia berada di dalam pesawat, jahatnya tetap saja terpikir. Kepalanya habis tersita, untuk memejam saja ia takut.
Walaupun bingung juga apa yang akan dilakukan setelah sampai di Jakarta nanti. Intinya, poin penting kembali pada mencari titik temu kematian ibunya. Egois memang, tapi ia tidak berbohong bahwa sayangnya lebih besar dibanding mengikhlaskan kepergian ibunya begitu saja tanpa alasan yang jelas. Bahkan penjelasan yang ia harapkan dari orang terdekatnya saja tidak menutup pertanyaan yang muncul saat ini. Minimal, satu pertanyaan di kepalanya berhasil ia pecahkan.
"Mas baskara...?"
Ia melepas headphone yang melekat dikedua telinganya, wajahnya memalingkan kearah pusat suara terdengar. Rupa-rupanya benar, alias sesuai dugaan kepalanya. Ya, benar orang-orang berjas hitam yang tidak lain adalah orang suruhan ayahnya.
Lelaki itu menghembuskan napas, rasa lelah tergambar jelas diraut wajahnya, "Langsung aja ya pak."
"Baik mas..."
Baskara menatap jendela mobilnya dari kiri ke kanan, "Pak, gimana pemakaman mama? papa hadir?"
Lelaki yang tengah fokus menatap jalan mendadak tersentak, pandangannya beralih menatap Baskara di kaca, "Bapak saat itu sampai sekarang sedang ada pertemuan di luar kota mas jadi berhalangan. Mas cakra yang mendampingi almarhumah ke pemakaman."
"Pak ilham betah juga ya kerja sama papa..."
Mendengar celetukan Baskara, pak Ilham tertawa kecil. Kalimat sarkas yang dikeluarkan oleh Baskara membuat lelaki itu bingung menjawabnya. Ya gimana, Baskara tahu betul gimana capeknya jadi pak Ilham yang sudah bertahun-tahun mengabdi di keluarga Himawan. Baskara juga terbilang akrab dengan pak Ilham makanya ketika ia tiba di Jakarta, orang yang ia kabari itu beliau.
"Alhamdulillah mas, yo cari kerja saiki susah. Jadi wes disyukuri ae..."
"Makasih ya pak, saya bersyukur bapak punya semangat kerja yang besar. Ya... semoga betah terus. Dan mohon dibantu ya pak, soalnya saya udah agak lama juga gak di Jakarta takut nyasar..." ucap Baskara diakhiri tawa kecil. "guyon yo pak..."
Pak Ilham ikut tertawa, "santai aja mas, candaan anak muda wes paham tenan saya."
---
Baginya suasana rumah tidak berbeda dengan suasana terakhir sebelum ia pergi terbang ke Korea. Justru yang ia yakini malah makin sunyi. Sekali lagi dia mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa ia harus fokus pada tujuannya.
"Pak, papa sampe kapan diluar kota?"
"Setau saya tiga bulan mas, ya minggu depan kira-kira pulang ke rumah."
Baskara manggut-manggut kemudian ia melanjutkan langkahnya memasuki pintu rumahnya. Laki-laki itu memasuki kamar yang sudah hampir satu tahun tidak pernah ia pijak. Kalau saja ibunya masih ada, sudah pasti senyum merekah itu yang ia dapati ketika pintu kamarnya dibuka.
Baskara mengamati figura yang diletakkan di atas nakas, ditatapnya dengan penuh rindu,
"Mama tenang aja, jjana akan urus semuanya. Mama tetap temenin jjana walaupun jjana gak bisa lihat ya ma..."
Laki-laki itu meletakkan kembali figura itu, kakinya beralih melangkah keluar. Tubuhnya terasa sangat berat, rasanya ingin langsung terjun ke kasurnya. Sayangnya, pintu kamarnya terkunci. Tidak tahu juga apa alasannya, entah siapa yang mengunci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dakshina
Teen FictionKepergian ibunya yang terbilang mendadak membuat bongkahan pertanyaan dikepalanya. Kalau saja dahulu ia tidak menuruti egonya, mungkin saja hatinya masih terhitung utuh. Katanya, setiap yang kita anggap penyakit cepat atau lambat akan menemukan pena...