38

11 4 4
                                    

"Apa yang terjadi kedepannya, Tante Kae?" Ralu tidak peduli dengan perasaan ragu dan takut di hatinya, dia lebih memilih menanyakan hal tersebut.

Semua pasang mata teman-temannya menatap ke arah dirinya, seolah tak percaya dia langsung mengatakan tanpa basa-basi terlebih dahulu.

"Ralu Terrieva, kamu mau melihat langsung atau Tante ceritakan?" Ralu tertegun, orang yang sedang bertatapan dengannya itu bukan orang sembarangan.

"Bagaimana jika melihat langsung?" tanya Ralu dengan cepat.

Kae menjulurkan tangannya ke arah Ralu, dengan bahasa tubuh, Kae menyuruh Ralu menaruh tangannya diatas telapak tangannya. Setelah tangan Ralu berada di atas telapak tangan kanan Kae, Kae menunjukkan senyumannya sembari memejamkan matanya.

Di sisi Ralu, dia ikut memejamkan matanya menunggu apa yang akan dia lihat nanti. Tidak ada yang spesial, hanya kegelapan yang dia lihat. Namun pelahan, rasanya seperti ada yang memanggil namanya, saat dia membuka matanya dia berada di tempat lain. Bukan di rumah Kae, melainkan sebuah lorong panjang.

"Ralu," panggil Kae, Ralu menoleh ke belakang dan melihat Kae tepat dibelakangnya.

"Jangan lepas genggaman Tante ..., atau kamu bakal tersesat di sini selamanya," perintah Kae dengan tegas.

Kae memimpin perjalanan mereka di setiap lorong, hingga mereka berhenti di depan pintu paling ujung lorong panjang itu. Kae membuka pintu itu dengan perlahan, mereka memasuki ruangan itu.

Cahaya silau membuat Ralu sedikit memejamkan matanya. Seperti mimpi, Ralu bisa melihat puluhan atau bahkan ratusan layar yang menunjukkan dirinya sedang beraktifitas.

"Cukup baik, namun ada yang sangat buruk," jelas Kae sambil menunjuk ke arah salah satu layar di mana Ralu dan teman-temannya tengah berada di hutan belantara.

Mereka mendekati layar itu dan melihat kejadian demi kejadian di layar itu. Mata Ralu bergetar, ini benar-benar sangat buruk.

Kematian.

Sesaat setelahnya melihatnya, pandangannya kembali berada di dalam rumah Kae, dengan Kae yang duduk di sofa depannya. Kae membuka matanya dan menatap ke arah Ralu dengan tersenyum.

"Ah, bagaimana jika berganti ke Linn? Tante cukup lama tidak melihat jalan takdirmu," celetuk Kae sambil menjulurkan tangan kanannya ke arah Linn.

Linn dengan ragu menaruh telapak tangan kanannya di atas telapak tangan kanan Kae. Mereka berdua memejamkan matanya, menuju pintu paling ujung lorong panjang.

Di sisi Ralu, dia masih belum mengatakan sepatah katapun sejak keluar dari penglihatannya tentang masa depan itu. Bayang-bayang tentang darah yang berceceran membuatnya tak bisa tenang.

"Apa, yang kamu lihat, Ralu?" tanya Ola dengan raut ragu-ragu.

"Buruk, seburuk-buruknya," jawab Ralu dengan tatapan yang masih menatap ke arah bawah, tepatnya ke arah telapak tangan kanannya.

Kembali ke sisi Linn, dia berjalan mengikuti langkah Kae yang berada di depannya. Tangan mereka saling menggenggam, Kae berhenti melangkah membuat Linn menabrak punggungnya.

"Ini adalah lorong ingatanku, Tante mau menunjukkan hal menarik untukmu," ucap Kae sambil memutar kepalanya sedikit ke belakang dan menunjukkan senyumnya.

Kae membuka salah satu pintu dan masuk ke ruangan itu, ruangan ingatan masa lalu Kae. Kae menunjukkan salah satu layar kepada Linn. Linn melihat rekaman-rekaman ingatan Kae di layar itu.

"Kamu, tau, aku dulu sempet nemuin satu permata yang pernah kamu ceritain dulu. Lalu aku gak sengaja tahu kekuatan yang muncul dari diriku, penyembuhan," jelas perempuan yang tengah duduk di depan Kae.

Kae tersenyum kepadanya dan berkata, "Tanpa kamu cerita, aku juga udah tahu."

Perempuan itu menunjukkan raut kesal, dia bisa menebak jika Kae menyelam ke ingatan masa depannya. Kae tertawa kecil melihat raut istri temannya itu.

"Lalu, kamu, nunjukin kekuatanmu ke Rai gak? Atau gimana? Arun," tanya Kae sambil tersenyum ke arah perempuan di depannya itu.

"Kenapa perlu dijelasin, kamu kan bisa lihat masa depan," jawab Arun yang masih kesal kepada Kae. Kae tertawa kecil melihat Arun yang masih saja kesal dengannya.

Rekaman layar itu berhenti lalu menghilang perlahan, Linn mematung dan berusaha mencerna apa yang baru saja dia lihat di depan matanya sendiri. Perempuan itu, sosok yang dia kenal sebagai sosok ibunya.

"Oh belum selesai, kita pindah ke lorong ingatanmu ya!" Kae menjentikkan jari tangan kirinya dan membuat ruangan tadi kembali berubah menjadi lorong.

Kae segera menarik tangan Linn perlahan menuju salah satu dari banyaknya pintu di lorong panjang itu. Linn mau tak mau harus mengikuti langkah Kae ke ruangan itu.

Seperti sebelumnya Kae memperlihatkan rekaman di layar yang dia tunjuk. Kenangan buruk yang masih Linn ingat hingga saat ini.

Darah merah yang terlihat keluar dari tubuh Ibunya, tatapan mata kasihan yang terlihat ke arahnya, air mata sedih ayahnya, hingga saat dia kehilangan kesadarannya.

"Seperti kata Zev beberapa minggu yang lalu, kendaraan itu tidak ada yang mengendarainya," jelas Kae kepada Linn dengan senyum andalannya.

"Kita pergi ke ingatan masa depanmu," sekali lagi Kae menjentikkan jari tangan kirinya dan layar-layar yang menunjukkan aura sedih itu berganti dengan layar penuh gambar tanda tanya.

"Nah lihat sesuatu yang lebih mengejutkan," Kae menunjuk salah satu layar hingga layar itu menunjukkan suatu rekaman ingatan.

Rekaman itu terlihat Linn dan teman-temannya tengah berada di hutan dengan langit gelap.

"Kau tahu, Linn, aku yang membunuh ibumu dulu, sekarang aku yang akan membunuhmu," ucap seseorang yang sangat Linn kenal, Mara.

Luka demi luka, darah perlahan menetes ke tanah basah yang terkena hujan. Hingga aura kematian terasa begitu pekat. Semua tumbang, hanya Siel yang bertahan, dia koma beberapa bulan setelah kejadian itu. Ola membiarkan tubuhnya menjadi wadah Mara, namun rencana mereka gagal hingga Mara bisa benar-benar mengambil alih tubuh Ola sepenuhnya. Lalu Kae, dia tetap hidup, dia tak pernah ikut dalam pertarungan mereka.

Mata Linn memanas melihat rekaman ingatan itu, rasanya air matanya ingin berlomba-lomba keluar. Linn merasakan sebuah telapak tangan berada di atas kepalanya lalu mengelus-elus kepalanya perlahan.

"Tante bukan antagonis, kamu, mau merubah takdirmu kan? Ubah ya, Tante cuma bisa lihat kalian saat itu, karena kalau Tante ikut, bakal percuma, kekuatan Tante gak bisa buat bertarung." Pandangan Linn memburam penuh dengan air mata yang siap keluar. Ucapan Kae membuat Linn menangis.

Saat dia mengedipkan matanya dia sudah berada kembali di dalam rumah Kae, dengan keadaan menangis.

"Linn! Aduh, kenapa bisa nangis? Beneran seburuk itu?" tanya Noe dengan panik.

"Kalau masa depan kalian iya, buruk banget, tapi aku yakin kalian bisa ngerubah, nunggu dua minggu lagi buat ngelihat perubahan kalian di masa depan." Bukan Linn yang menjawab pertanyaan itu, melainkan Kae sambil tersenyum manis.

Kan, udah kukasih tahu, aku ngasih spoiler kecil-kecil(^-^)

EDELSTENEN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang