Selama lima bulan ini Belia menggantikan ibunya yang sakit-sakitan, gadis itu memilih untuk meluangkan waktu membaca buku-buku yang tersedia di rumah itu. Kebanyakan buku mengenai bisnis. Belia tetap baca. Meskipun banyak teori dan istilah-istilah yang tidak masuk ke kepalanya, dia tetap menerabas untuk membacanya. Sebab dengan mengisi kepalanya dengan berbagai jenis buku, tetap akan ada yang nyangkut dan mengubah sedikit demi sedikit pola pikir miskin Belia.
"Kamu suka baca buku-buku bisnis saya perhatikan."
Belia menoleh dan mendapati Naga yang sudah mengenakan pakaian rumahan. Sontak saja Belia mencari jam dinding dan mendapati jam yang tertera.
"Ya ampun, saya udah kemaleman."
Belia menuju tempat menyetrika yang biasanya dijadikan tempat istirahatnya.
"Bawa aja bukunya, kamu baca di rumah biar kalo pengen baca nggak akan kemaleman disini."
Belia menatap anak majikannya itu. "Boleh, Tuan?"
"Boleh. Pinjam satu persatu, supaya nggak ada yang hilang di rumahmu. Saya akan tandai."
Naga mengambil paper sticky notes untuk ditempel di buku yang Belia bawa, dan menaruh satu di rak buku sebagai pengingat, judul dan tanggal pinjam Belia.
"Sudah. Bawa buku itu dan simpan baik-baik. Kembalikan dengan kondisi seperti semula. Paham?"
Belia mengangguk dan dia mengambil totebag yang tersedia di dapur untuk membawa buku dan dompet kecilnya.
"Kamu naik apa kalo pulang?" tanya Naga.
"Angkot, Tuan."
"Udah malam, naik kendaraan umum nggak aman buat perempuan kayak kamu."
"Eh, tapi saya udah biasa naik angkot, Tuan."
"Saya antar aja. Sekalian saya mau tahu kondisi Bik Isah. Gimanapun, Bik Isah udah ngurus rumah ini sejak saya kelas empat SD."
Belia tidak memiliki alasan untuk menolak, karena anak majikannya itu ingin melihat kondisi ibu Belia. Jadilah Belia naik ke mobil Naga.
"Saya nggak mau kamu duduk di belakang, duduk di depan. Saya bukan sopir kamu."
Dengan kaku Belia mengangguk. Dia duduk dengan tubuh tegak.
"Sabuk pengaman."
"Hm? Gimana, Tuan?"
"Pakai sabuk pengamannya."
Belia mencari-cari keberadaan sabuk pengaman yang dapat ditarik seperti karet itu. Namun, dia bingung bagaimana memasangnya ke tubuh. Belia memasukkan kepalanya ke celah tengah, tapi talinya jadi menghimpit perut saja. Tangannya tidak nyaman, dia benar-benar bingung.
"Sini, saya ajarin. Ingat-ingat, saya nggak akan ajarin lagi."
Belia mengamati bagaimana Naga memasangkan sabuk pengaman itu untuk Belia. Segera pria itu mengunci sabuk pengaman dan Belia paham bahwa sabuk pengaman itu harus menahan dada hingga perutnya.
"Paham?" ucap Naga.
Belia mengangguk dan mereka mulai menikmati perjalanan menuju rumah Belia dan ibunya.
***
"Udah diperiksa?"
Belia mengangguk. "Memang stroke, Tuan."
"Kondisi begini, kalo kamu tinggal, siapa yang urus?"
"Adik saya. Dia ada di kamarnya."
Naga mengusap dagunya dan tampak berpikir begitu serius.
"Ayah kalian kemana?"
"Sudah pisah sama Ibu sejak saya SMP."
"Oh? Saya nggak pernah mikir kalo hidup Bik Isah sebegininya. Mami juga nggak pernah cerita kalo Bik Isah janda sejak lama."
"Bukan janda resmi, Tuan. Nggak ada persidangan perceraian. Cuma pisah, tapi status masih kawin sama bapak. Ya, begitulah kehidupan orang susah. Makanya Ibu saya nggak pernah mau cerita yang gimana-gimana ke Maminya Tuan Naga."
"Kamu pasti ingin sekali mengubah nasib keluargamu ini," ucap Naga sambil menatap Belia.
"Sangat, Tuan. Makanya saya mau cari kerjaan yang bisa bantu saya untuk kuliah dan memenuhi kebutuhan rumah."
"Perusahaan papi saya selalu mengeluarkan beasiswa. Nanti saya tanya-tanya persyaratannya apa saja. Saya bantu kamu untuk pelan-pelan bisa mengubah hidup kamu."
Belia dengan senyuman manisnya menatap Naga dengan harapan besar.
"Terima kasih, Tuan. Terima kasih."
YOU ARE READING
My Only Love (Novelet)
NouvellesNaga dikalahkan dengan semua tekanan yang diberikan orangtuanya. Pria itu harus menukar kehidupannya yang perlahan kembali dengan perceraian. Saat ini, di depannya, di atas meja, sudah tersedia lembaran dari surat pengajuan cerai. Itu bukan kebohon...