RTF01- Pimred Menyebalkan

46 28 2
                                    


DISCLAIMER!!!

Sebelum baca, tolong ingat baik-baik ya. Cerita ini memang mengangkat tema tentang jurnalisme. TAPI. Sistem jurnalisme yang ada di cerita ini tidak sama persis dengan yang ada di dunia nyata. Jadi, jangan disamakan dan jangan pernah berpikir bahwa jurnalisme yang ada di dunia nyata persis seperti yang ada di cerita saya. So, bijaklah dalam membaca dan anggap saja cerita ini sebagai hiburan yang tidak perlu diseriusi sampai ke dunia nyata. Oke?

Maybe, cukup sekian pembukaan dari saya. Jangan lupa siapkan fokus saat membaca karena nanti banyak sekali teka-teki yang cukup memusingkan kepala.

Thank you for your attention
and Happy Reading.


••••••


Wanita berkalung ID Press itu nampak terduduk lesu di depan meja kerja sang atasan. Dia adalah Arina Maharani Sandjaya, seorang jurnalis muda dari media massa bernama National News.

Hari ini, ia baru saja membuat sebuah kesalahan hingga membuat atasannya sangat marah dan kecewa. Ia pun akhirnya hanya bisa tertunduk dan pasrah menikmati luapan amarah dan kekecewaan dari atasannya.

"Gara-gara kamu, kita jadi kebobolan." Pria berusia 38 tahun itu berujar dengan air muka penuh kekecewaan. Dia adalah Panji Arya Dewandaru, sang pemimpin redaksi sekaligus atasan di tempat Arina bekerja.

Bagi Panji, kebobolan adalah salah satu istilah ketika sebuah berita yang cukup penting tidak bisa ditayangkan karena tidak adanya informasi yang didapatkan. Sementara media massa lain berhasil menayangkan berita itu. Dan hari ini, berita penting yang seharusnya juga bisa ditayangkan oleh National News malah tidak bisa ditayangkan karena tidak adanya informasi yang didapatkan, dan semua itu terjadi atas kesalahan Arina.

Arina memberanikan diri mengangkat wajahnya. Ia berusaha membela diri. Sebab, ia merasa semua itu terjadi bukan atas kesalahannya.

"Tapi, Pak. Bukan kah Bapak hanya menyuruh saya untuk melakukan liputan dalam aksi demo di depan gedung DPR saja. Sementara peliputan insiden pembakaran pos polisi di dekat gedung DPR tidak termasuk dalam tugas saya. Bapak tidak menyuruh saya meliput itu kan? Lagipula bagaimana mungkin saya bisa meliput dua berita di tempat yang berbeda dalam satu waktu?"

Panji menghela nafas. Sembari mengacak rambutnya dengan kasar, ia menatap Arina dengan kesal.

"Sebagai seorang jurnalis seharusnya kamu bisa berpikir cerdas, Rin. Seharusnya kamu bisa memperkirakan mana berita yang lebih menarik dan berpotensi lebih banyak menyedot atensi masyarakat. Bukan malah terpaku pada satu berita tanpa peduli berita apapun di sekelilingnya."

"Dan lihat lah sekarang. Gara-gara kamu, media kita benar-benar rugi. Kita tidak bisa mempublikasikan berita pembakaran pos polisi itu karena belum ada informasi yang bisa kita dapatkan."

"Saya bener-bener kecewa sama kamu, Rin. Kamu tidak bisa berpikir cerdas dan tidak bisa membaca peluang. Sebenarnya bisa gak sih kamu jadi jurnalis? Kinerja kamu sangat buruk dan tidak becus!"

"Ketimbang jadi jurnalis di media massa, sepertinya kamu jauh lebih pantas jadi admin di akun gosip lambe turah."

Arina tertunduk. Ucapan Panji terasa begitu menohok di hatinya. Ia mengaku salah, tapi apakah pantas ia dimaki-maki sampai seperti ini. Ia juga manusia yang punya hati dan perasaan, terlebih lagi ia adalah seorang wanita yang memiliki sisi sensitif tersendiri terhadap perasaannya.

"Sudah, sana keluar. Ini kesalahan terakhir yang bisa saya maklumi. Kedepannya jika kamu berbuat kesalahan fatal lagi, saya akan membuatmu hengkang dari tempat ini," ujar Panji dengan tegas.

Reveal The FactTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang