Arina Maharani Sandjaya, seorang jurnalis muda yang hari-harinya sering mendapat teguran dan kinerjanya selalu dianggap tidak becus oleh Panji, sang pemimpin redaksi di media massa tempat Arina bekerja.
Arina begitu benci kepada Panji yang menurutn...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
•••Happy Reading•••
•••
Tugas Arina hari ini telah selesai, ia bergegas pulang saat jam menunjukkan pukul empat sore. Begitu ia melewati ruang tengah untuk keluar dari rumah itu, ia melihat Reyner duduk di sana sambil memegang kertas dan pulpen. Tangannya bergerak-gerak seperti sedang menulis di atas kertas itu.
Penasaran, Arina mendekat. Ia pun mendapati bahwa ternyata Reyner bukan sedang menulis melainkan membuat coretan-coretan abstrak di kertas itu.
"Gambar apa itu?" Arina iseng bertanya.
"Rumah." Reyner menjawab singkat tanpa mengalihkan fokusnya pada kertas di depannya.
Gambar absurd yang bahkan tak berbentuk itu Reyner menyebutnya rumah. Tentu saja hal itu membuat Arina tiba-tiba ingin tertawa. Ia berpikir, gambar buatan anak TK sepertinya jauh lebih bagus dibanding coretan-coretan abstrak buatan Reyner yang ia sebut sebagai rumah.
"Gambar rumah bukan seperti itu. Mau aku ajari tidak?"
Reyner bergeming beberapa saat. Ragu-ragu, ia akhirnya mengangguk. Ia menyerahkan pulpennya kepada Arina.
Arina duduk kemudian mengambil kertas kosong. Di atas permukaan kertas itu, ia gambar bentuk sebuah rumah sederhana lengkap dengan pohon dan tanaman yang menghiasi halaman depan rumah itu.
"Nah, gambar rumah tuh seperti ini." Arina memperlihatkan hasil gambarnya kepada Reyner.
"Coba sekarang kamu gambar ulang rumahnya persis seperti ini."
Reyner menurut, ia ambil kertas kosong lagi kemudian mulai membuat gambar rumah seperti yang Arina contohkan. Tapi, bukannya meniru persis seperti yang Arina buat, Reyner malah kembali membuat coretan abstrak yang tidak jelas bentuknya. Melihat itu, Arina hanya bisa menghela nafas, ia merasa kesal. Ia seakan tidak percaya, apakah benar sakit jiwa yang Reyner derita sampai membuat dia sebodoh itu bahkan untuk membuat gambar sebuah rumah saja sampai tidak bisa.
"Bukan seperti itu gambarnya. Itu salah. Sini aku ajarin." Arina kembali mengambil kertas kosong. Ia tuntun tangan Reyner untuk menggambar rumah dengan bentuk yang lebih benar.
Pelan-pelan, ia menggerakkan tangan Reyner di atas permukaan kertas kosong itu. Kurang dari satu menit, gambar itu selesai dibuat. Gambarnya terlihat lebih rapih karena Arina lah yang menggerakkan tangan Reyner.
"Nah seperti ini gambarnya." Arina berujar kemudian mendongakkan wajahnya, seketika itu pula wajahnya jadi sangat dekat berhadapan dengan wajah Reyner. Keduanya lantas membeku saling tatap. Netra mereka beradu untuk beberapa saat. Keduanya terdiam seperti terhipnotis oleh tatapan mata masing-masing.
Arina segera menundukkan wajah. Ia merasakan kecanggungan yang luar biasa. Aura seorang Reyner selalu saja berhasil membuat Arina berdesir gugup setiap kali ia tak sengaja bersitatap dengan pemilik mata onyx hitam itu.