•••Happy Reading•••
Arina tiba di rumahnya sekitar pukul empat sore. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya hingga ia langsung terkapar di kasur setelah ia sampai di sana.
Selelah apapun badannya, pikirannya terus saja tidak mau berhenti beroperasi. Terlebih, hari ini ia mendapat satu pernyataan dari mulut Laura yang membuat ia akhirnya menduga-duga.
Perempuan gatal memang lebih baik mati mengenaskan seperti Mira.
Perkataan Laura itu terus saja terngiang di telinga Arina. Ia yang semula yakin bahwa pembunuh Mira adalah Reyner, tiba-tiba saja kepercayaannya berbalik kepada Laura. Ia jadi memiliki kecurigaan kepada Laura.
"Laura orangnya sangat khawatiran dan cemburuan. Dia sangat takut jika Reyner sampai terpikat kepada wanita lain. Aku yang memakai make up sedikit saja langsung dituduh sebagai wanita penggoda. Lantas bagaimana dengan Mira? Berdasarkan foto yang pernah aku lihat, tanpa make up saja Mira sudah sangat cantik, apalagi jika dipoles make up, pasti kecantikannya akan semakin luar biasa. Apa karena hal ini Laura akhirnya khawatir jika sampai Reyner terpikat dengan kecantikan pembantunya itu. Untuk itulah bisa jadi Laura akhirnya gelap mata dan memilih menghabisi Mira agar kecantikan Mira itu tidak sampai menjadi penyebab dia kehilangan Reyner."
"Tapi ada kemungkinan juga jika sebenarnya Laura telah mengetahui hubungan rahasia Reyner dan Mira yang terjalin secara diam-diam. Untuk itu lah dia akhirnya murka kemudian mengakhiri hidup Mira."
Arina bergumam menerka-nerka sebab dan akibat yang mungkin mengarah pada kematian Mira. Ia berusaha menghubungkan satu kemungkinan dengan kemungkinan lainnnya untuk menuju fakta sesungguhnya di balik kasus misterius itu. Ia pun akhirnya menarik kesimpulan bahwa tunangan Reyner itu sepertinya terlibat dalam kasus ini.
"Tapi di sisi lain, aku juga memiliki kecurigaan dengan orang tuanya Reyner. Mereka pun bisa jadi terlibat dalam kasus ini. Orang tua Reyner sudah mengetahui bahwa anaknya itu diam-diam menjalin hubungan asmara dengan seorang pembantu. Mereka tentunya sangat menentang jika anaknya berhubungan dengan perempuan yang memiliki status sosial jauh di bawah mereka. Untuk itu lah bisa jadi mereka memilih untuk melenyapkan Mira agar hubungannya dengan Reyner bisa berakhir. Mereka pun akhirnya tidak lagi memiliki penghalang untuk menjodohkan Reyner dan Laura."
Satu kemungkinan lain pun muncul di benak Arina. Ia memiliki dugaan bahwa orang tua Reyner pun bisa jadi terlibat dalam kasus ini.
Tiba-tiba saja Arina merasa sangat bingung. Terlalu banyak dugaan yang mampir di pikirannya. Terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang berusaha ia hubungan dengan penyebab kematian Mira. Antara Reyner, Laura, dan orang tua Reyner, siapa pelaku sebenarnya? Itu lah kebingungan yang saat ini tengah Arina rasakan.
Meskipun belum menemukan titik terang perihal siapa pelaku sebenarnya, tapi setidaknya dari dugaan-dugaannya ini Arina akhirnya memiliki pegangan untuk menuju fakta sesungguhnya dan menemukan pelaku sebenarnya. Tiga orang itulah yang kini Arina masukan dalam daftar orang-orang yang harus ia selidik lebih dalam. Yakni Reyner, Laura, dan juga orang tua Reyner.
•••
"Rin, kamu sakit?"
Pertanyaan itu muncul dari Jevano. Arina yang tengah menata makanan di meja makan akhirnya mengernyit heran mendapat pertanyaan seperti itu.
"Tidak, Pak. Aku baik-baik aja," jawab Arina.
"O syukur kalo gitu. Kukira kamu sedang sakit, soalnya hari ini wajah kamu keliatan pucat."
Spontan Arina meraba wajahnya. "Oh ini karena saya tidak menggunakan make up sedikit pun, Pak. Jadi akhirnya wajah saya terlihat pucat. Saya hanya tidak mau dituduh sebagai wanita penggoda lagi."
Jevano menghela nafas. "Rin, jangan pedulikan ucapan Laura. Merias diri adalah hak setiap wanita. Dan dia tidak berhak membatasi hakmu untuk merias diri. Berdandan lah secantik mungkin jika itu yang bisa membuatmu nyaman dan lebih percaya diri saat tampil di depan orang."
"Tapi bagaimana jika Mbak Laura menganiaya saya lagi saat dia tahu saya kembali menggunakan make up?" Arina bertanya khawatir.
"Tidak usah khawatir, aku yang akan menjamin agar kejadian buruk itu tidak terulang kembali. Kamu tidak usah takut, Rin. Selama ada aku, kamu akan terlindungi dari perlakuan buruk Laura atau pun Reyner yang mungkin akan kembali mereka lakukan padamu."
Arina tertegun. Lagi dan lagi, Jevano selalu saja menjadi menyelamat dari perilaku buruk orang-orang yang sering Arina dapatkan di rumah ini. Jevano sudah selayak pahlawan yang selalu bisa membuat Arina merasa aman. Di titik ini, Arina semakin terkagum dengan segala kebaikan dan perhatian Jevano.
Setelah menyelesaikan sarapannya. Jevano berpamitan untuk pergi. Selang beberapa jam setelah Jevano pergi. Rumah Reyner didatangi oleh seseorang. Arina berharap semoga orang yang datang ini bukan Laura. Ia sungguh malas bertemu dengan perempuan sombong itu.
Arina membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Begitu pintu itu di buka, ia mendapati seorang pria yang tak dikenal berada di sana dengan pakaian rapih khas orang kantoran.
"Maaf, cari siapa?" Arina bertanya sopan.
"Ini benar rumahnya Pak Reyner?"
"Benar. Ada perlu apa, ya?"
Pria itu tersenyum ramah. "Saya psikiater. Kedatangan saya ke sini untuk menemui Pak Reyner."
"Pak Rey sendiri yang mengundang anda ke sini?" Arina bertanya lagi.
"Bukan. Keluarganya yang meminta saya datang ke sini untuk memberikan konseling kepada Pak Rey."
"O begitu." Arina membalas singkat. Ia mempersilahkan pria itu masuk ke dalam rumah. Dalam hati, Arina bertanya, apakah orang yang sudah benar-benar gila masih perlu bantuan psikiater?
"Sebentar ya, saya panggilkan dulu Pak Rey nya."
"Tidak perlu dipanggil ke sini. Kalo diizinkan, antarkan saya ke kamarnya saja. Saya ingin melakukan konseling di sana agar suasananya jauh lebih tenang dan Pak Rey bisa merasa lebih nyaman."
Arina mengiyakan permintaan pria itu. Ia mengantarkan menuju kamar Reyner di lantai dua. Sampai di sana, pria itu langsung masuk ke dalam kamar Reyner bahkan menutup pintunya. Namun Arina segera mencegat.
"Emang harus banget ya di dalam kamar terus pintunya ditutup?" Arina bertanya karena merasa heran.
Psikiater itu tersenyum. "Tenang aja, Mbak. Saya dan Pak Reyner sama-sama laki-laki. Meskipun berduaan di dalam kamar, kita tidak akan berbuat mesum. Karena kita bukan kaum pelangi."
Mata Arina spontan membulat. Ia dibuat melongo oleh ucapan psikiater itu.
Setelah psikiater itu masuk dan menutup pintunya, Arina tak langsung pergi. Ia tetap berdiri di depan pintu kamar Reyner untuk mengetahui bagaimana respon Reyner di dalam sana saat kedatangan orang asing, karena bisa saja Reyner akan mengamuk saat melihat orang baru yang tiba-tiba memasuki kamarnya. Namun, selama hampir lima belas menit Arina berdiri di depan pintu, ia sama sekali tidak mendengar respon aneh-aneh dari dalam kamar Reyner. Suasananya sangat senyap hanya terdengar suara lembaran kertas yang seperti dibolak-balik.
Arina sangat penasaran apa yang dilakukan dua orang itu di dalam kamar. Ia juga heran apakah Reyner langsung menerima begitu mudah orang baru yang memasuki kamarnya. Padahal ia sendiri saja sering terkena amukan Reyner saat mengantarkan obat atau makanan ke dalam.
Di titik ini, Arina merasa aneh sekaligus curiga.
•••
See You Next Part
KAMU SEDANG MEMBACA
Reveal The Fact
Mistério / SuspenseArina Maharani Sandjaya, seorang jurnalis muda yang hari-harinya sering mendapat teguran dan kinerjanya selalu dianggap tidak becus oleh Panji, sang pemimpin redaksi di media massa tempat Arina bekerja. Arina begitu benci kepada Panji yang menurutn...