Bagian 1

3 1 0
                                    

   Angin sore membelai rambut merah ku yang ku kuncir asal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

   Angin sore membelai rambut merah ku yang ku kuncir asal. Berulang kali ku selipkan anak rambut di sisi telinga tetapi selalu saja angin memberantakkannya. Aku menyerah. Ku lepas topi ku yang dihiasi bordiran bunga daisy lalu ku letakkan di dalam keranjang piknik yang ku bawa.

  Dari atas jembatan aku dapat melihat Tuan Roland dan cucunya sedang memancing di tepi Sungai Misville. Tuan Roland melihatku lalu ia melambaikan tangan ke arahku. Aku tersenyum namun sepertinya Tuan Roland tidak dapat melihat senyumku dari ketinggian ini apalagi sinar matahari yang sebentar lagi tenggelam menghalangi pandangan kami.

   Duduk menggantungkan kaki di jembatan sembari melihat matahari tenggelam. Ceritanya panjang hingga sore ini aku berakhir di sini. Namun, aku suka melihat matahari terbenam. Ada banyak rasa ketika netraku menatap lekat ke arah matahari yang perlahan-lahan hilang di balik bukit. Menyaksikan matahari tenggelam menghadirkan rasa tentram dan cemas secara bersamaan. Perasaan yang sungguh aneh, di satu waktu ketika melihat matahari tenggelam aku akan merasakan ketenangan tapi tak berselang lama rasa cemas muncul.

   Aku selalu bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkanku mengalami kemalangan yang bertubi-tubi. Aku gadis yang tidak tahu siapa kedua orangtuaku dan tumbuh sebagai yatim piatu di panti asuhan yang "dingin" masih harus di hadapkan dengan kemalangan yang lain. Aku kira setelah berbagai nasib buruk yang kumiliki akhirnya aku menemukan kebahagiaan yang dapat melegakan jiwaku yang sekarat dan terombang-ambing dalam kehidupan ini. Namun, Tuhan seolah-olah enggan melihatku bahagia.

   Mataku terpejam, menjatuhkan buliran air yang sudah jenuh terkumpul di kelopak mata. Dalam kegelapan kilasan ingatan acak yang ingin aku musnahkan berputar terputus-putus seperti kaset rusak. Aku mengingat kembali kemalangan yang beberapa waktu lalu menimpaku.

   Aku mengenakan gaun biru mudah dengan motif bunga yang indah. Duduk di kursi penumpang di samping Reno Schinzer, pria yang baru menjadi suamiku. Reno terlihat tampan dalam balutan kemeja putih dan vest bewarna navy. Kami berdua banyak tertawa dan terlihat sangat bahagia layaknya pengantin baru pada umumnya. Itu adalah momen setelah bulan madu kami selesai. Kami dalam perjalanan pulang menuju Warembor, kota kecil di negara bagian Lexius tempat rumah kami berada.

   Ketika kami sedang mengobrol sembari menikmati suasana pagi di daerah Pegunungan Lenta, secara tiba tiba sebuah mobil pick up bermuatan sayuran berada di lintasan mobil kami. Untuk menghindari tabrakan Reno langsung membanting stir ke kanan. Mobil kami terperosok cukup jauh ke dalam hutan lalu berhenti setelah menabrak sebuah pohon pinus yang cukup besar. Ingatan terakhirku adalah melihat banyaknya asap yang keluar dari mobil. Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah Reno yang berlumuran darah. Lalu aku melihat ke tubuh ku sendiri, darah mengalir di kedua pahaku. Perutku terasa sangat sakit. Hingga selanjutnya semua menjadi gelap.

   Aku membuka kedua netraku. Separuh bagian matahari sudah terbenam di balik bukit. Langit mulai menggelap. Tuan Roland dan cucunya sudah tidak ada di tempatnya memancing. Dingin mulai mengusikku. Aku pakai kembali topi daisy ku lalu ku kenakan selendang bewarna putih gading menyelimuti bahuku yang terbuka.

Menyembuhkan Luka KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang