Bagian 2

1 1 0
                                    

   Atmosfer yang terasa menegangkan terurai setelah hakim ketua mengeluarkan putusan perceraian ku dengan Reno. Setelah pembicaraan kami di dekat padang bunga matahari itu kami atau dalam kondisi saat itu aku mulai mempertimbangkan perpisahan. Awalnya Reno sempat menolak, butuh waktu dan usaha dariku untuk meyakinkannya. Kehadiran orang tua Reno terutama ibunya mempermudah usahaku untuk meyakinkan Reno. Hingga akhirnya setelah berbagai tahapan perceraian yang cukup panjang kami resmi bercerai pada hari ini.

   Aku melihat Reno yang duduk di sisi sebarang, keadaannya lebih baik dibandingkan sebelumnya. Syukurlah, aku berharap ia dapat melanjutkan hidupnya tanpa rasa bersalah setelah ini. Reno menatapku lalu tersenyum tipis. Senyum yang indah namun terasa menyakitkan. Aku langsung membuang muka ke arah depan ketika menyadari air mataku menetes setelah melihat senyum Reno. Aku hapus air mataku. Setelah ini aku juga harus melanjutkan hidupku. Namun, apakah ada bagian dari hidupku yang dapat aku lanjutkan.

   Sidang dan keperluan perceraian lainnya sudah selesai. Di kursi persidangan ini aku duduk seorang diri hanya bersama pengacaraku, tanpa orang tua, tanpa keluarga, dan tanpa teman yang duduk di sampingku. Aku berdiri, menepuk-nepuk rok ku agar tidak terlihat lusuh karena duduk terlalu lama, kemudian beranjak pergi meninggalkan ruang persidangan.

   Aku duduk di sebuah kursi taman yang ada di halaman pengadilan. Melihat orang-orang berlalu lalang. Aku sungguh lelah. Ternyata proses perceraian sungguh melelahkan.

   Dari kejauhan aku melihat kedua orang tua Reno berjalan ke arahku. Ku letakkan tas tangan yang ada di pangkuanku ke kursi taman lalu berdiri menyambut kedatangan mantan mertuaku itu.

   "Nak, ibu ingin meminta maaf. Maafkan keegoisan kami yang membuatmu harus berpisah dari Reno. Namun, tidak ada yang bisa kami perbuat. Ibu harap setelah ini kamu akan menemukan kebahagiaanmu. Terima kasih sudah menjaga dan mencintai putra kami selama ini," ucap ibu Reno sembari memelukku.

   Tak berapa lama, Reno datang menghampiri kami. Ibu melepaskan pelukannya lalu membelai lembut sisi kepalaku. Setelah ia menyadari kedatangan Reno, ia bersama ayah Reno pergi meninggalkan kami berdua.

   "Esme, aku sungguh tidak tahu apa yang harus aku katakan padamu. Semuanya seperti berputar di kepalaku. Yang aku tahu, perasaan ini masih ada untukmu namun keadaan memaksaku untuk membunuh perasaanku sendiri. Dadaku terasa sakit setiap kali menyadari bahwa setelah ini aku harus melanjutkan hidup namun tanpa dirimu," ujar Reno dengan netra yang berkaca-kaca.

   "Tidak perlu kau tekan perasaanmu Reno, lepaskan semua. Biarkan waktu yang mengikisnya perlahan-lahan seperti karang yang dikikis gelombang laut. Pada saatnya nanti bahkan tanpa kamu sadari perasaanmu padaku itu sudah tiada. Pada saatnya nanti kamu akan merasa baik-baik saja tanpaku," ujarku sembari mengusap lembut dada bidang Reno. Tempat dimana dulu aku suka bersandar. Namun, saat ini tempat itu bukan lagi untukku.

   "Apa hanya aku yang sedih atas perpisahan ini, Esme. Melihat kamu yang seperti baik-baik saja membuat perasaanku lega sekaligus sedih secara bersamaan," ujar Reno dengan wajahnya yang terlihat polos membuatku ingin tertawa.

   "Hahaha, dasar kekanak-kanakan. Memang susah bagi manusia melankolis sepertimu, Reno. Tentu saja aku juga merasa sedih. Bukan hanya kamu tapi aku juga harus membiasakan diri tanpa keberadaan mu. Aku harus terbiasa ketika bangun tidur hal yang pertama kali aku lihat bukan wajahmu yang sialnya tetap tampan ketika tidur itu. Apalagi mata hazel mu yang sangat aku sukai itu. Aku harus membiasakan diri tanpa melihat mata hazel itu lagi. Semuanya juga tidak mudah bagiku. Namun, aku tidak ingin larut begitu dalam karena hidup yang harus aku jalani setelah ini akan lebih berat dibandingkan sebelumnya."

   "Huuh, rasanya aku ingin membawamu pergi ke planet lain dimana hanya ada kita berdua. Menjalani hidup seperti apa yang kita inginkan tanpa harus terkengkang dengan hal-hal lain," ucap Reno dengan wajahnya yang tampak konyol ketika berangan-angan seperti itu. Aku bingung harus bagaimana menanggapinya.

   "Esme, kamu adalah wanita yang istimewa di hidupku. Perasaanku mungkin saja terhapus seiring berjalannya waktu namun kenangan tentangmu selamanya akan tumbuh subur di memoriku. Kamu terlalu istimewa untuk aku lupakan, Esme. Sayang sekali nasib malang membuat kita harus berpisah. Semoga suatu saat nanti kita dipertemukan kembali dalam kondisi yang lebih baik," ucap Reno sembari menggenggam kedua telapak tanganku lalu mengecup kedua punggung tanganku lembut.

   Oh Reno, tingkahmu yang seperti ini sungguh menyusahkanku. Bagaimana aku bisa jatuh cinta lagi setelah ini. Bagaimana aku bisa rela kehilangan pria sebaik dirimu. Kata-kata dan tindakan mu padaku begitu lembut hingga rasanya aku ingin egois memilikimu untukku seorang. Namun, aku harus sadar bahwa aku hanyalah awan mendung sedangkan kamu adalah matahari yang bersinar. Kehadiranku dalam hidupmu saat ini hanya akan menghalangi sinarmu. Dan aku, awan mendung ini, tidak ingin matahari yang aku cintai redup karena keberadaanku.

   "Simpan ini, Esme. Di dalamnya ada akta dan sertifikat rumah serta kuncinya. Rumah ini aku bangun sebagai hadiah pernikahan dariku untukmu namun baru rampung dua minggu lalu. Aku sudah menuliskan alamatnya di selembar kertas, kamu bisa menemukannya di dalam map ini. Dengar, aku tidak menerima penolakan. Anggap ini sebagai hadiah terakhir ku untukmu," ucap Reno sembari menyerahkan map cokelat kepadaku.

   "Sungguh, kamu tidak perlu melakukan ini, Reno. Aku tidak bisa menerima ini," jawabku sembari menyerahkan kembali map itu namun ditahan oleh Reno.

   "Aku mohon Esme, terima ini. Jika kamu ingin aku dapat melanjutkan hidup dengan tenang maka terima ini. Aku hanya ingin hidupmu setidaknya terjamin dengan rumah ini lagi pula rumah ini aku bangun untukmu."

   "Namun, harta yang aku dapat dari perceraian kita sudah cukup, Reno. Kamu sungguh tidak perlu sampai memberiku rumah seperti ini."

   "Aku tidak menerima penolakan, titik. Aku sudah menyiapkan rumah ini dari lama setidaknya hargai usahaku ini," ujar Reno dengan wajah memelas.

   "Huuh baiklah, aku akan menerima ini. Terima kasih banyak, Reno."

   Reno tersenyum puas lalu menyerahkan map itu padaku. Aku menerimanya ragu-ragu lalu memasukkannya ke dalam tas. Ketika menerima rumah ini sebenarnya aku enggan karena membuat aku seperti masih terikat dengan Reno. Padahal aku ingin memulai hidup tanpa bayang-bayang nya.

   "Rano, maaf jika menyakiti perasaanmu tapi apakah boleh jika semisal suatu saat nanti aku menjual rumah ini. Tidak menutup kemungkinan setelah ini aku tidak lagi menetap di Warembor. Jika aku pindah rumah ini akan kosong, dari pada membiarkannya kosong dan tidak terawat apakah aku boleh menjualnya. Aku ingin meminta izin padamu dulu sebelum melakukan itu di masa depan."

   "Huuh, apa rumah pemberianku ini membuatmu merasa terikat padaku, Esme. Maaf jika kamu merasa demikian, tapi bukan maksudku begitu ya mungkin sedikit ada rasa seperti itu. Aku merasa lega saat tahu dimana kamu berada sekalipun kamu tidak lagi hidup bersamaku. Namun, aku tidak bisa menghalangi mu jika memang kamu ingin memulai hidup di tempat baru. Kamu boleh melakukan apapun pada rumah itu. Aku sudah senang dengan kamu menerimanya."

   "Terima kasih atas pengertianmu Reno. Dan terima kasih untuk segala hal yang sudah kamu lakukan untukku selama ini. Mari melanjutkan hidup kita masing-masing. Semoga kamu segera menemukan wanita baik yang dapat mendampingi mu. Selamat tinggal Reno," ucapku mengakhiri percakapan kami sebelum lebih panjang dari ini. Aku memeluk Reno lalu ku hirup dalam-dalam aromanya yang sehar-hari menemaniku lalu pergi meninggalkan Reno yang menampilkan senyum tipis ke arahku dalam momen perpisahan kami ini.

Menyembuhkan Luka KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang