Matahari tampak mengintip dari balik bukit. Udara pagi ini tidak terlalu dingin, setelah sekian lama entah dorongan dari mana aku ingin joging.
Harus kuakui Reno memiliki kemampuan penilaian yang baik. Lingkungan pemukiman di sini nyaman untuk ditinggali. Jika saja takdir berjalan sebagaimana rencananya, mungkin kami sudah meninggali rumah ini. Aku bisa membayangkan betapa menyenangkannya bisa menghabiskan hari-hari di lingkungan ini bersama Reno.
Saat melintasi ujung komplek, aku melihat Vander sedang membersihkan halaman rumahnya. Namun, aku tidak berani menyapanya. Sepertinya dia sedang sibuk apalagi ia tengah memakai headset. Aku pun melanjutkan kegiatan joging pagiku.
Semua persiapan perpindahanku telah rampung. Jika tidak ada halangan mungkin aku bisa pergi ke Verseile mulai lusa.
Ketika melihat sebuah pohon yang berada di tanjakan setelah ujung komplek, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Entah mengapa setelah melihat pohon sikamor ini aku jadi mengingat masa kecilku di panti.
Saat itu usiaku 10 tahun, karena seorang anak laki-laki bernama Greg dan teman-temannya suka menggangguku ketika aku sedang melukis akhirnya aku menyelinap keluar panti lalu pergi ke padang rumput yang berada di belakang bangunan panti. Di sana ada pohon sikamor berdiri. Aku yang tidak ingin seorang pun mengganggu ku entah itu Greg maupun pengasuh panti akhirnya aku memutuskan memanjat pohon sikamor untuk bersembunyi.
Setelah senja menyapa aku memutuskan untuk kembali ke pantai. Namun, petaka datang ketika aku tidak bisa turun. Entah bagaimana caraku bisa membawa kanvas berukuran 40x50 cm itu ke atas pohon tapi tidak bisa turun. Akhirnya aku berteriak meminta tolong yang diiringi dengan suara Isak tangis. Hingga seorang pria dewasa dengan topi jeraminya bersama seorang anak laki-laki yang beberapa tahun lebih tua dariku datang membantuku turun. Jika diingat-ingat kembali konyol sekali tingkahku waktu itu.
(Suara nada dering telepon)
Lagi-lagi Reno menghubungiku. Memang mulai haru kedua setelah sidang putusan perceraian, Reno sudah 3 kali menghubungiku tapi selalu saja aku tolak. Aku tidak tega memblokir nomornya, terlalu jahat dan berlebihan. Baru juga bercerai seminggu tapi ia sudah menghubungiku saja, aku tahu dia rindu padaku, aku pun juga rindu pada Reno, tapi bagaimana kita bisa memulai hidup baru jika terlalu sering berhubungan. Sepertinya aku harus menegaskan hal ini pada Reno.
"Selamat pagi Esme, bagaimana kabarmu?"
"Aku baik, bagaimana denganmu?"
"Kabarku tidak baik, aku merindukanmu hingga rasanya ingin membatalkan perceraian lalu menculikmu ke sisi ku."
"Dasar Reno, bagaimana kamu bisa terbiasa jika seisi rumah masih terpajang foto kita berdua. Bereskan semua lalu taruh di gudang. Itu langkah awalmu memulai hidup baru."
"Kau tahu saja jika aku belum membereskan foto-foto itu. Tenang saja, aku bisa mengatasinya, aku hanya perlu waktu lebih banyak. Ngomong-ngomong, kamu sedang apa Esme?"
"Sedang menelpon mu di atas pohon sikamor."
"Tidak heran, Esme yang ku kenal memang seperti itu, sedikit nakal hahaha."
"Jangan menggodaku, Reno. Kau sendiri sedang apa?"
"Melihat-lihat foto beberapa gadis yang akan ibuku jodohkan padaku. Bayangkan, ia memintaku menjalani kencan buta dengan 3 wanita ini. Tapi tidak ada yang menarik, tidak ada yang memiliki rambut merah yang indah seperti milikmu, Esme."
Jadi ibu Reno sudah mulai mencarikan calon istri untuk putranya. Persis yang seperti Reno katakan, matan ibu mertuaku ini adalah wanita yang tidak akan menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Belum kering tinta perceraian kami tapi ia sudah mulai menjodohkan Reno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyembuhkan Luka Kita
RomanceEsme menjalani sebagian besar hidupnya ditimpa kemalangan. Seorang yatim piatu yang tidak mengetahui asal-usulnya dan tidak pernah merasakan cinta dalam hidupnya. Namun, setelah akhirnya ia menemukan kebahagiaan dalam hidupnya, mengapa ia harus diti...