Mencari Bintang

8 1 0
                                    

Seorang wanita yang hanya memiliki tinggi 150 cm itu menatap kosong pada langit malam hari ini, merasa lelah sendiri mencari cahaya-cahaya kecil yang biasanya mengisi kesendirian bulan.

Zivilia menyeruput teh hangatnya, kali ini, dia minum teh mawar. Sesekali Zivilia menghela nafasnya, mengeratkan selimut yang tersampir di kedua pundaknya.

Udara bulan juli, malam ini, cukup dingin, tidak sampai menusuk tulang. Dia duduk di teras rumah sederhana milik sang ayah, seperti malam sebelum-sebelumnya. Dia sendiri tak tau kenapa tiba-tiba punya hobi duduk di teras depan rumah dengan secangkir teh setiap malam.

Saat Zivilia masih berusaha mencari cahaya kecil di langit malam yang kosong. Masih tidak ingin menyerah. Tiba-tiba dari dalam rumah, sang ibu keluar. Duduk di sebelahnya dengan sepiring pisang goreng dan secangkir teh jahe.

Zivilia menoleh kearah sang ibu, biasanya, sang ibu lebih memilih di kamar dengan membaca novel di ponselnya daripada duduk di luar. Kan dia jadi heran sendiri.

"Dek," panggil sang ibu.

Zivilia merutuki dirinya sendiri. Oh, ayolah, dirinya sedang malas di ajak berdiskusi dengan moodnya yang sudah tidak bagus dari pagi.

'padahal, waktu diem-dieman tadi udah bagus. Pasti mau obrolin soal kemaren nih!" Batinnya frustasi sendiri.

"Kenapa, bu?" Jawabnya.

Kalau di panggil itu di jawab kan. Nggak sih, tadi, niat dirinya hanya berdehem. Tapi, Zivilia masih nggak mau di kutuk jadi ikan pari! Dia kan jadi inget adegan anak durhaka yang di kutuk jadi ikan di televisi.

"Kamu, jangan males-males, ya. Besok jualan ya. Kan, lumayan buat uang kuota kamu."

Zivilia mengangguk. Iya, cuma ngangguk doang. Dia, udah tau ibunya akan membahas hal apa dan tujuan ibunya apa. Paham banget Zivilia mah. Dua rius.

"Ibu, ada bayaran, bulan 12 harus lunas. Nggak besar banget kok nominalnya, kalau kamu jualan kan ayah kamu ke tolong."

Sebenarnya, ibunya mengatakan semua hal itu dengan suara lembut dan teduh. Sangat lembut malah. Tapi, ntah karena moodnya yang dari pagi sudah buruk, jadi, ya, semua ucapan ibunya itu membuatnya jengkel. Nggak tau, mendadak dia mau marah-marah.

Zivilia mengangguk kembali, "iya, bu. Nanti, Zivi jualan. Kalau gitu, Zivi ke kamar ya bu. Ngantuk banget udah."

Setelah ibunya mengangguk mengizinkan, Zivilia langsung buru-buru masuk kamar. Mengunci pintu, mematikan lampu. Suatu kebiasaan dia agar dikira sudah tidur, aslinya, masih melek lebar sambil natap langit-langit kamar yang gelap.

Zivilia merebahkan dirinya di kasur, menghela nafas, dia lelah. Amat. Sangat. Lelah. Sepertinya dia harus butuh waktu tidur ekstra.

Zivilia melihat kearah ponselnya, teman-teman nya berisik di grup, biarlah, dia ingin istirahat. Menenangkan hati dan kepalanya yang sudah sangat sakit.

"Gapapa. Besok usaha lebih, Zivilia. It's okay," gumamnya sambil memejamkan mata. Berusaha untuk meraih mimpi yang ia rangkai sendiri.

Zivilia Krisana, di lahirkan di keluarga yang berkecukupan. Kata berkecukupan, bukan berarti lebih atau pun kurang. Tapi, cukup. Hanya, cukup. Zivilia dua bersaudara, dia memiliki kakak laki-laki berbeda tiga tahun di atasnya.

Sedikit banyaknya terkadang Zivilia merasa bersyukur dapat lahir di keluarga kecil ini, tapi, terkadang Zivilia merasa iri dengan teman-temannya. Begitulah sifat manusia, tak jauh dari kata iri dan dengki.

Manusia adalah mahluk ciptaan tuhan yang paling memiliki banyak emosi dan sifat. Sama sekali tak ada di dunia ini yang memahami manusia yang lainnya, jangan kan manusia lainnya. Untuk, ke diri sendiri saja mereka masih butuh di bimbing.

BungsuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang