New story?
Ceritanya sama kayak fanfic yang aku buat sebelumnya, yaitu pasti ada nama original yang aku buat, jadi maaf kalau nggak nyaman.
HAPPY READING
Ia hanya diam menatap pemandangan mengerikan itu. Tubuhnya kaku, tak berani bergerak atau mengeluarkan suara. Ia ingin merengkuh adiknya dan membawanya kedalam dekapan hangat, tapi ia tak bisa, tubuhnya tak mau bergerak. Adiknya masih kecil namun kenapa ayahnya melakukan hal seperti itu.
Anak kecil yang satu tahun lebih muda darinya menangis keras, tubuh kecilnya sudah penuh luka karena beberapa kali menerima pukulan dari tangan ayahnya.
"Berhenti menangis!" Ayah berteriak dengan suara serak, memandang anak keduanya yang meringkuk di sudut ruangan.
Anak itu menangis semakin keras, tangisannya adalah jeritan ketakutan seorang anak kecil yang tak mengerti mengapa dunia di sekelilingnya begitu kejam.
Ibu berusaha mendekat, ingin memeluk anaknya dan menenangkannya, tapi langkahnya terhenti ketika Ayah kembali berteriak.
"Aku tahu dia bukan anakku!" teriak Ayah, suaranya menggema di seluruh rumah, "usianya saja hanya berbeda setahun dari Halilintar, setahun! Mana mungkin dia anakku!".
Ibu menatapnya dengan mata berlinang air mata, hatinya hancur mendengar tuduhan itu. Dia tahu tuduhan ini sudah lama menghantuinya, tapi malam ini, tuduhan itu meledak dalam bentuk kekerasan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Tolong, hentikan. Gempa itu anak kita, dia anakmu," ia mencoba menjelaskan, suaranya gemetar, tetapi ia tahu betapa keras kepala suaminya ketika dilanda amarah.
“Jangan bohongi aku! Aku sudah tahu semuanya! Kamu selingkuh, kan?" Ayah melangkah maju, tubuh besarnya terlihat menakutkan di mata istrinya.
"Aku melihatmu dulu, pergi dengan pria itu! Anak ini buktinya!" dia menunjuk anak berusia 4 tahun yang sampai kini masih menangis keras.
Air mata Ibu semakin deras mengalir, bukan hanya karena tuduhan itu melukai hatinya, tetapi karena ia melihat anaknya menangis semakin keras setiap kali suaminya mendekat. Tubuh kecil bocah itu gemetar ketakutan.
"Gempa bukan anak siapa—siapa selain anak kamu!" nada suara Ibu terdengar putus asa.
"Dia anak kita. Kamu tidak ingat? Kita … Kita! Sama seperti Halilintar dan Gentar!" suaranya terhenti, dadanya sesak, seolah—olah semua kata—kata hilang ditelan rasa sakit yang menyiksa.
Namun, Ayah tidak mendengarkan. Dalam kemarahannya yang membabi buta, dia melayangkan tangannya lagi ke arah Gempa, bocah kecil yang tidak tahu apa—apa tentang pertengkaran orang tuanya. Pukulan itu mengenai bahu Gempa, membuat anak itu jatuh ke lantai dengan isakan yang semakin memilukan.
"Hentikan!" Ibu menjerit dan mendorong tubuh suaminya sekuat tenaga, "dia anakmu! Apa yang kamu lakukan?!".
Ayah terhuyung ke belakang, tidak siap dengan kekuatan dorongan istrinya. Namun, amarahnya belum juga surut.
"Aku tahu kamu berbohong!" dia menuding wajah istrinya, napasnya terengah—engah seperti binatang buas yang mencari mangsa, "aku tahu selama ini kamu mengkhianatiku! Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu dia bukan darah dagingku!".
Ibu memeluk Gempa yang tubuhnya bergetar, matanya penuh ketakutan melihat ayahnya. Sementara itu, Halilintar masih diam membisu, tidak bergerak, seolah mencoba membuat dirinya tidak terlihat.
"Aku tidak pernah mengkhianatimu, aku tidak pernah!" wanita itu menjerit dalam tangis, tubuhnya bergetar saat ia memeluk Gempa lebih erat.
Ayah tak langsung menjawab, namun amarah masih sepenuhnya mengendalikan tubuhnya.
"Kita harus pergi, Gempa, kita harus pergi sekarang," suaranya terdengar hampir seperti bisikan, penuh dengan ketakutan dan keputusan yang mendesak. Ibu berdiri, dia memeluk putra keduanya kedalam sebuah pangkuan.
"Ibu," Halilintar memanggil pelan, suaranya gemetar, "Ibu mau kemana?".
Ibu berhenti sejenak, menatap Halilintar dengan air mata mengalir di pipinya. Ada rasa bersalah yang menghantamnya seperti ombak besar. Tapi dalam sekejap, ia menyadari bahwa membawa kedua anaknya sekaligus di bawah ancaman suaminya yang marah adalah sesuatu yang mustahil. Dia harus memilih. Hatinya remuk saat menyadari itu, tapi demi menyelamatkan Gempa yang terluka, ia harus pergi sekarang.
"Maafkan Ibu," Ibu berkata dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar, "Ibu akan kembali buat kamu. Tolong jaga diri kamu. Ibu sayang kamu,".
Halilintar tidak mengerti. Dia hanya tahu bahwa ibunya dan adiknya akan pergi, meninggalkannya sendirian dengan ayah yang menakutkan. Halilintar menggeleng, air mata mulai mengalir dari matanya. Tapi mulutnya terlalu kaku untuk berteriak, tubuhnya terlalu lemah untuk berlari mengejar. Dia hanya bisa melihat ibunya membawa Gempa pergi menuju pintu.
Ayah yang menyaksikan semua itu, mendengus sinis, "kamu mau kabur, istriku?" Suaranya rendah, penuh ancaman.
"Kamu pikir bisa lari dari sini, hm?".
Ibu menoleh sekilas ke arah suaminya, tapi ia tahu tidak ada waktu untuk berdebat atau menjelaskan apapun. Dengan langkah cepat, ia membawa Gempa menuju pintu keluar, melewati suaminya yang masih memandanginya dengan tatapan penuh kecurigaan dan kebencian.
"Jangan pikir kamu bisa kembali setelah ini, Sayang," suara Amato, pria itu terdengar jelas di belakangnya, "kalau kamu keluar sekarang, jangan harap kamu bisa bertemu Halilintar dan Gentar lagi!".
Mara terhenti sejenak di ambang pintu, tubuhnya gemetar. Tapi ia tidak punya pilihan lain. Dengan air mata yang masih mengalir, ia menggenggam Gempa erat—erat dan melangkah keluar dari rumah, meninggalkan segala hal di belakangnya—termasuk Halilintar yang masih duduk diam dalam ketakutan di sudut ruangan.
"Gempa?".
"Sayang, kamu kenapa?" suara lembut memanggilnya, menyadarkannya dari lamunan.
Gempa mengerjap, menarik kembali dirinya pada kenyataan, "gak pa'pa Bu," jawabnya, namun suaranya terdengar tidak meyakinkan.
Mara menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat, duduk di samping putranya, "kenapa? Ada yang mengganggu pikiran kamu? Cerita sama Ibu," ucapnya masih dengan nada lembut.
Gempa terdiam sejenak, jika harus bercerita ia ia tak tahu harus mulai dari mana. Ada begitu banyak hal yang berputar di kepalanya, tentang Halilintar, tentang Gentar, tentang bagaimana kehidupan mereka sekarang, apa mereka bahagia bersama ayahnya saat ini?
"Aku ... cuma kepikiran Kakak sama Adek," akhirnya Gempa mengaku, suaranya rendah, "udah lama banget aku nggak ketemu mereka, Bu. Kadang aku bingung, apa mereka baik-baik aja di sana ... atau nggak. Aku harap mereka nggak mengalami apa yang dulu pernah aku rasain.".
Mara mengangguk pelan, tatapannya melunak, "Ibu juga sering mikir soal mereka. Tapi, Halilintar dan Gentar kan kuat, Sayang. Mereka pasti baik-baik aja.".
"Omong—omong kamu udah siapkan peralatan sekolah kamu? Besok kamu udah mulai sekolah lagi kan?" Mara tiba—tiba mengubah arah pembicaraan mereka, wanita itu mengusap dengan sayang rambut anak tengahnya.
"Udah, mau gimanapun aku gak boleh melakukan kesalahan dihari pertama sekolah disana." ucapnya, tidak lupa memberikan senyuman manis untuk sang ibu.
TO BE CONTINUE
PERUBAHANNYA, SIAPA SANGKA BAKAL JADI GINI. KELIATAN BEDA JAUH TAPI SEBENERNYA NGGA, ALURNYA MASIH SAMA KOK CALM DOWN.
CUMA AKU MINTA MAAF SEBESAR BESARNYA KALAU GA NYAMAN SAMA PERUBAHAN YANG TIBA—TIBA INI.
DEJA VU KE "HEY TWINS!" EUY.

KAMU SEDANG MEMBACA
RANTAI LUKA
Fanfiction"Aku gak benci kamu, aku cuma gak suka liat Gentar yang kehilangan peran seorang ibu karena anak lemah kayak kamu.". Perceraian orang tuanya sebelas tahun lalu memang bukan berita baik untuk di ungkit kembali. Ayahnya memang menyayanginya, tetapi ia...