Pov: Alfan.
Kajian ustad Habsyi membuatku sedikit terkejut, padahal materinya sudah kupahami saat aku mengaji dengan abi dirumah. Tapi kenapa baru sekarang aku mengingatnya?
Konsep cinta dalam islam itu hanya ada dua.
Halalkan atau Tinggalkan. Konsep itu kenapa aku baru ingat? Padahal itu bukan hal baru untukku?Lalu bagaima dengan perasaan yang diam-diam kusimpan tapi malah terus berkembang? Aku tidak mungkin mengingkari kedua konsep itu. Lalu langkah mana yang harus kutuju? Padahal rasa ini masih baru ku mulai, lalu langsung kutinggalkan begitu saja?
Halalkan? atau Tinggalkan?
Pikiranku kacau, bahkan fokus ku mulai buyar. Tapi aku tak mau membiarkan ini. Secepatnya aku harus cari solusi.
Malam ini aku sudah berada di beranda masjid sesuai janjiku pada ustad Habsyi. Jangan tanya kenapa. Karena aku hanya ingin menyelesaikan masalah rasa itu. Aku harus secepatnya dapat solusi. Dan beliau adalah jalannya.
"Assalamu'alaikum" Ustad habsyi baru saja keluar dari masjid.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh ustad" Aku menyalaminya.
"Kaifa haaluka akhi?" Ustad habsyi begitu santun di hadapan siapapun. Termasuk muridnya.
"Alhamdulillah khair ustad" Jawabku lembut
"Lalu apa yang ingin kau carikan solusi, nak?" Beliau langsung to the point.
"Sebenarnya ana ingin tanya pas kajian kemarin ustad, tapi ana malu karena ini privasi ana sendiri."
Aku mulai jujur."Tidak masalah, coba ceritakan"
"Saya bingung ustad" Aku benar-benar kelu untuk
mulai bicara."Tunggu, biar saya tebak. Apa hal ini tentang materi saya kemarin?" Ustad Habsyi tepat mengenai sasaran pertanyaanku.
"Na'am ustad" Ucapku malu.
"Kedua konsep kemarin itu adalah jalan terbaik dalam islam nak, demi menghindari fitnah dan sesuatu yang tidak diinginkan. Kalau belum bisa menghalalkan, maka tinggalkan" Beliau jadi kembali mengulang penjelasan kemarin karenaku.
"Tapi, apa tidak salah jika saya tinggalkan begitu saja ustad?" Ucapku ragu, dengan tatapan menunduk karena begitu malunya diriku.
"Meninggalkan bukan berarti harus berhenti berjuang anak muda. Meninggalkan yang di maksud itu meninggalkan hal yang dilarang. Tinggalkan wujudnya, perjuangkan rasanya"
Aku terkejut, pasti kemarin aku tidak fokus menyimak kajian beliau. Karena bagian itu tidak kuingat dari kajian kemarin.
Otakku masih mencerna kata-kata beliau barusan.
Tinggalkan wujudnya, perjuangkan rasanya. Bagaimana maksudnya?"Lalu bagaimana cara memperjuangkannya sedangkan kita harus meninggalkannya ustad?" Aku begitu malu dengan diriku yang tak juga paham dengan konsep ini.
"Perjuangan itu bukan hanya tentang mendapatkannya melalui media dunia. Perjuangan juga bisa melalui media Allah. Maka jika tidak bisa menggunakan media dunia, gunakanlah Allah sebagai jalannya"
"Contohnya ustad?" Aku ingin paham sebenarnya, walaupun otakku tidak bisa diajak kompromi dengan hal ini.
"Contohnya, sebut namanya di sujud seperttiga malammu, sebut namanya dalam doa istikharahmu dan masih ada banyak cara, nak. Tapi kau harus benar-benar meninggalkannya, biarkan Allah yang tentukan. Yang penting kau jangan putus usaha dihadapan Allah"
Kata-kata beliau barusan menenangkan pikiranku tapi tembus menusuk relung hatiku. Aku melupakan cara itu. Aku melupakan Allah dalam rasa ini.
Beliau pamit setelah kembali menyemangatiku. Dan aku kembali merutuki diri karena telah melupakan Allah dalam rasa ini.
Aku kembali kedalam masjid, hati nuraniku meronta untuk segera bersujud, Memohon ampun atas ma'siat yang diri ini kerjakan tanpa sadar.
Ya Allah... Hamba lupa memperjuangkannya. Sedangkan hamba sudah memberinya harapan. Hamba tak ingin menyakiti orang lain, maka izinkan hamba menepati ucapan yang hamba utarakan kepadanya. Ya Allah... Jika engkau berkehendak, izinkan rasa ini membuktikan keseriusannya.
Masjid ini akan menjadi saksi bagaimana perjuanganku atas ilmu dan rasa itu. Aku tak ingin menyebutnya cinta karena aku tau hati akan berbolak-balik biar kulangitkan namanya agar tak satupun bisa menggapainya.
Ukhti, aku lepas dirimu tapi izinkan aku menggemakan namamu diatas langit doaku. Biarlah hanya nama yang bisa kupegang erat untuk kuperjuangkan. Biarlah kau katakan aku tidak serius dengan ucapanku karena keperguanku. Biarlah Allah tau bahwa rasa itu kian menggebu. Izinkan aku melangitkan namamu diatas doa sepertiga malamku. Karena aku hanya punya kuasa doa, biar Allah yang menentukannya. Ukhti, kenapa aku tidak teringat pada penggalan kata dari Jalaluddin Ar-Rumi, yang pernah berpesan bahwa cinta adalah doa, maka siapa yang mendoakanmu ia benar-benar mencintaimu.
Kali ini, izinkan aku memperjuangkanmu walau hanya sebatas nama. Bukan raga.
🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Pov: Hilya
Air mataku mengucur deras diatas tadahan tangan dengan bibir yang tak henti bergetar. Mataku sembap dan sedikit perih tapi itu bukan alasan untuk menunda kalimat permohonanku diatas sajadah ini.
Pada sepertiga malam ini, aku kembali mengadu tentang rasa yang kian menggebu walau perkataannya sudah seperti angin yang berlalu. Begitu bersihnya ia menyapu sampai titik relung hatiku.
Aku tak pernah menyangka jika hanya dengan ungkapan yang kudengar dari umi waktu lalu bisa kubawa hingga detik ini tanpa ku genggam. Percayalah, kalau aku tak pernah mengharap lebih dari ungkapan itu. Tapi rasa ini justru berbalik menyerangku.
Bunda belum mengetahui ini, bahkan sekalipun ia tak pernah curiga padaku tentang rasa yang terus tumbuh. Padahal aku tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Tapi aku sudah dewasa, tak ada gunanya fase dewasaku jika aku tak mampu menghadapi ujian yang ada didalamnya tak ada gunanya umi mendidik keras saat aku di pesantren jika aku tak bisa mengamalkan ilmunya.
"Allah itu maha sempurna, maka jangan ragukan lagi kuasa-Nya" Pesan beliau waktu itu yang sangat kuingat.
Al-mulk sudah sering jadi pelarianku, tapi bukan karena aku rindu. Karena rasa yang ada dalam diriku sudah tak mampu kujamah. Begitu liar. Perlu sekuat tenaga untuk bisa mengendalikannya karena khawatir terkena dampak dalam penghambaanku.
Maka ketika air mataku mengalir deras seperti malam ini, disitulah titik lelah yang berusaha aku kuatkan. Aku tak tau bagaimana cara membiarkan rasa itu pergi sedangkan aku tak pernah menggengamnya. Setengah mati ku yakinkan bahwa tidak ada cinta yang lebih besar daripada cinta Allah kepada umatnya. Nahasnya rasa itu tetap terikat, sangat kuat.
Akhirnya kutemukan jalan terakhirnya yaitu dengan kuserahkan kembali pada sang pemilik rasa. Kupasrahkan atas apapun yang terjadi pada rasa yang dianugerahkan-Nya. Aku tak mau menyalahkan karena sejatinya rasa adalah fitrah bagi yang bernyawa.
Jika Sang pemilik rasa ingin menumbuhkannya dalam hatiku, maka akan kuterima dengan senang hati. Tapi jika tidak, maka semoga Allah menggantikan dengan yang lebih baik atas rasa yang sekedar hadir.
Tanpa diketahui siapapun, aku ingin meminta petunjukmu atas rasa yang terus terikat dengan sangat kuat. Biarlah hanya Engkau yang menjadi saksi.
"Yaa muqollibal quluub, tsabbit qobi 'alaa diinika"
'Wahai sang pembolak-balik hati, tetapkanlah hatiku dalam jalanmu'
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince Al-mulk (Tahap Revisi)
Teen FictionSebuah penantian yang sangat lama ketika seorang akhy dan ukhty saling berjanji untuk bersama. Walaupun mereka tau mereka tidak bisa menuliskan takdirnya sendiri tapi mereka hanya berharap dan berdoa padaNYA untuk di pertemukan lagi nanti.