Pov: Hilya.
Aku memandangi jalanan yang tak kunjung sepi dari kendaraan. Semua orang begitu sibuk dengan dunianya. Dan semesta membiarkan aku terpekur sendirian diambang keterkejutan.
Aku pulang ditemani senja yang kembali menyapa. Semesta seakan membuat lisanku hancur akan kata-kata. Kejam sekali dunia ini. Kenapa semesta membiarkan aku hidup dengan rahasia yang tak aku ketahui? Kenapa harus bunda yang menyimpannya?
Duniaku belum terasa nyata saat aku harus menghadapi rahasia yang begitu besar. Nahasnya itu membuatku sulit untuk menyembunyikan rasa kecewa. Kenapa ayah tidak mencoba memberitahuku?
Setelah bertemu dengan hilwa, aku harus berpura-pura tak tau apa-apa di depan bunda agar bunda tidak mencurigaiku. Bunda terlalu benci pada ayah, ia bisa marah besar kalau tau hilwa memberiku kabar rahasia ini.
Sampai rumah, aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Tapi itu sulit. Sangat sulit. Aku menolak ajakan bunda untuk makan malam dengan alasan ingin istirahat karena kelelahan.
Nyatanya di kamar ini aku kembali merenung. Sulit sekali rasanya untuk percaya dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Tapi, mendengar perjuangan hilwa menjalani hidup tanpa kehadiranku, membuatku sangat bersalah padanya.
Dari dulu aku tak pernah mendapatkan bully-an dari teman-temanku, tapi dia menghadapi itu sendirian. Jiwa kasih sayang ku meronta-ronta. Merasa bersalah karena tidak bisa melindunginya.
Dia lebih muda dariku, Tapi dia lebih kuat ketimbang aku.Aku tak bisa membayangkan bagaimana penderitanya ketika menghadapi ayah yang pernah di fitnah. Sampai ia hampir menjadi korban pelampiasan stress ayah. Ia sudah terlalu banyak berjuang dan sekarang biar aku yang berjuang untuknya. Untuk keluarga kami.
⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘⚘
Fajar menyambut manusia untuk kembali kepada sang Tuhan, di susul oleh mentari yang tak pernah henti menyinari bumi. Anak-anak berangkat ke sekolah diantar ayahnya.
Aku bangun dari sajadah yang menemaniku sejak jam tiga pagi. Ia adalah teman mengadu kepada Allah. Aku beranjak membuka jendela agar udara segar bisa masuk kamar. Cahaya matahari menembus gorden kamarku.
"Subhanallah..." Pandanganku tertuju pada matahari yang baru terbit dari tempatnya.
Aku diam di jendela beberapa saat, menikmati keindahan alam yang Allah ciptakan. Pohon rindang di sekitar rumah seakan memberiku semangat pada hatiku yang kemarin sempat tersayat.
"Hil..." Bunda memanggilku di balik pintu.
"Kenapa bun?" tanyaku ketika aku membukakan pintu untuknya.
"Nanti siang bunda bakal ada tamu temen bunda. kamu bantu bunda nyiapin makan siang nanti, ya? " jelas bunda.
"Iya bun, nanti Hilya bantuin" jawabku dengan senyuman.
Sebenarnya aku masih kesal pada bunda karena kejadian kemarin membuatku overthinking padanya. Tapi aku tidak boleh salah sikap hanya karena kejadian itu. Mungkin saja bunda punya alasan lain sampai menyembunyikan itu semua.
Aku dan bunda menyiapkan berbagai macam hidangan seperti akan ada acara besar. Bunda bilang, temannya ini baru saja datang haji. Bunda tak tanggung-tanggung menyambutnya karena ikut senang.
Setelah makanan sudah kusajikan di meja makan, bunda menyuruhku untuk membersihkan diri untuk menyambut temannya. Aku mengangguk patuh dan segera masuk kedalam kamar.
Aku memakai gamis pemberian bunda beberapa hari yang lalu. Gamis berwarna biru langit dengan hijab navy yang panjangnya menjuntai. Aku membuka kotak niqob pemberian umi untuk mengambil salah satu warna yang pas untuk ku pakai bersama gamis cantik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince Al-mulk (Tahap Revisi)
Ficção AdolescenteSebuah penantian yang sangat lama ketika seorang akhy dan ukhty saling berjanji untuk bersama. Walaupun mereka tau mereka tidak bisa menuliskan takdirnya sendiri tapi mereka hanya berharap dan berdoa padaNYA untuk di pertemukan lagi nanti.